Selasa, 31 Agustus 2010

The Roles of Mass Media & Public Opinion

Dalam pembentukan suatu kebijakan, decision maker akan mendapat banyak pengaruh dari berbagai pihak dan kelompok-kelompok kepentingan. Salah satu pihak yang cukup memberi banyak kontribusi dalam pembentukan suatu kebijakan adalah media massa. Media massa memainkan peran yang penting dalam pembuatan keputusan dan kebijakan luar negeri di Amerika. Media massa mampu mengubah dan mempengaruhi masyarakat dalam bertindak dan menyikapi suatu isu yang beredar. Terutama semenjak masuk pada abad ke dua puluh, media massa yang terus bertumbuh di suatu negara melambangkan semakin demokrasi negara tersebut.
Media massa akan berdampak pada pembentukan opini publik dalam menilai isu yang sedang dibahas, dan opini publik itu menjadi penting dalam negara yang demokrasi.
Dalam kebijakan politik luar negeri, terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi proses pembuatanya, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi ukuran negara, struktur sosial, mood public, teknologi, kapasitas nasional, organisasi politik, kemampuan politik, kepemimpinan, dan media. Media memberikan pengaruh dengan menyebarkan informasi aktual dan terkini tentang isu yang menyangkut masalah luar negeri sehingga mesyarakat terinformasi dengan baik dan sekaligus terbentuk opini publiknya, tergantung dari bagaimana cara pemberitaan media massa.
Diungkapkan oleh Glenn Snyder, yaitu bahwa pembuat keputusan bertindak sebagai respons terhadap kondisi dan faktor-faktor yang terjadi di luar lingkungan internal pemerintah tempat mereka terlibat. Setting internal dideskripsikan sebagai lingkungan manusia yang terdiri dari kultur budaya dan populasi, yang secara otomatis di dalarnnya termasuk opini publik (Snyder, 1969: 201-203, dalam Retnachrista, 2007). Media adalah komponen terbesar dari lingkungan internal politik luar negeri. Media menunjukkan interpretasi dan pengharapan kelompok-kelompok masyarakat dan sebagai alat untuk menyosialisasikan kebijakan dan agenda oleh pemerintah.
Michael Brecher menyebut media sebagai jaringan komunikasi dalam sistem politik yang memungkinkan aliran informasi tentang lingkungan operasional pada elit (Brecher, 1972: 183-207, dalam Retnachrista, 2007). Media adalah saluran untuk mengirim pesan dari lingkungan diplomatis-politis yang aman kepada pemimpin. Media menciptakan atmosfer yang merefleksikan even kebijakan luar negeri melalui perspektif agenda-setting, mempengaruhi kebijakan, dan mendorong mereka untuk merespon melalui media.
Proses keterlibatan media dapat disederhanakan menjadi dua hal. Pertama, media sebagai sumber
input bagi pembuatan keputusan, dan kedua, media sebagai lingkungan yang harus disesuaikan dan dipertimbangkan pemimpin dalam membuat kebijakan. Pemimpin dan para pembuat keputusan mengetahui informasi dari pers, mereka mempelajari peristiwa yang sedang terjadi dari dunia dari pers melalui saluran komunikasi publik. Disini media bertindak sebagi sumber, bagian dari input proses perumusan kebijakan yang menyediakan informasi dan data bagi elit pemimpin.
Sementara, Anindyo J. Majumdar dan Shibashis Chatterjee secara khusus memberikan ulasan mendalam mengenai peran media dalam pengambilan kebijakan luar negeri AS. Ada tiga hal yang diungkapkan, yaitu pembuat kebijakan luar negeri tetap menarik bagi media; media dan perumusan kebijakan terpaku pada hubungan mutual yang eksploitatif; dan media dan pemerintah bisa berjalan searah dan sebaliknya (Majumdar dan Chatterjee, 2004: 356, dalam Retnachrista, 2007). Media AS dikendalikan oleh kekuatan modal dan pemerintah AS, oleh karena itu Chomsky menyatakan lima kendala yang selalu dimiliki media AS yaitu terkonsentrasi pada isu tertentu, terjerat konglomerasi (media korporat), didanai dan disetir pemerintah dan bisnis, mendapat tekanan dari sayap kanan (konservatif), dan tergantung pada sumber berita yang terbatas. Sementara, O'Heffernan (1993 ) menggambarkan media sebagai
pemegang peran ganda dalam proses perumusan kebijakan luar negeri, yaitu sebagai pcnyedia informasi yang dapat dijadikan dasar pembuatan kebijakan, sekaligus sebagai alat rasionalisasi kebijakan sehingga dapat diterima oleh publik. Sedangkan, Berry (1990) berpikir sebaliknya. Media tidak begitu berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan luar negeri, juga tidak dapat dimanipulasi oleh pemerintah. Media dapat memainkan peran independen. Tugas utama media dalam pembuatan kebijakan luar negeri adalah untuk memberi informasi kepada pemirsa apa yang ingin dilakukan atau dihindari pemerintah (Majumdar dan Chatterjee, 2004: 359-362). Salah satu contoh adalah sama dengan apa yang dilakukan oleh anggota AIPAC yang berasal dari bangsa Yahudi, yang mencatat setiap perkataan dari pihak pemerintah -baik presiden maupun seluruh jajaran pemerintah-, tentang kebaikan maupun keburukan orang Yahudi. Mereka melakukan itu untuk memperjuangkan kepentingan mereka di Amerika. Meskipun hanya dua persen di Amerika tetapi petinggi perusahaan media cetak dan orang-orang sukses di Amerika kebanyakan berasal dari Yahudi, sehingga peran media yang sangat dekat dengan opini publik tentu juga lekat dalam pembentukan kebijakan luar negeri Amerika.
Seperti pada kasus Israel yang menyerang kapal relawan asing yang datang ke Palestina. Berita yang di blow up oleh media mendapat tanggapan dari publik sehingga membentuk persepsi publik, yang berarti media berperan pasif dan hanya menyediakan input informasi yang selanjutnya akan diolah oleh publik. Maka, dengan adanya opini publik tersebut, suatu negara tentu akan mengambil langkah yang berbeda dalam kebijakan luar negerinya terhadap Israel. Sebenarnya, peran media tidak hanya pasif, tetapi ketika data-data tersebut dimanipulatif, dan fokus pada tujuan petinggi pemerintah, maka ketika publik membacanya dengan tidak seksama, tentu persepsi yang dihasilkan akan berbeda dengan realita yang ada.
Dapat kami simpulkan bahwa, media merupakan hal yang paling dekat dengan masyarakat dan menjadi jaringan berita aktual. Maka media memiliki kepentingan dan kemampuan dalam membentuk opini publik dengan tulisan-tulisan yang diberitakan. Publik akan menanggapi setiap tulisan tersebut melalui media-media yang ada pula, sehingga pengambil kebijakan mendapatkan pengetahuan mengenai keinginan dan kehendak rakyatnya, dan hal tersebut yang menjadi pijakan bagi negara yang mengusung sistem demokrasi seperti Amerika.

Referensi :
Retnachrista, 2007. "Peran News Corporations dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Menginvasi Irak (Maret 2003)” dalam Global & Strategic, Th I, No 2, Juli- 13 Desember 2007.
http://www.aiou.edu.pk/gmj/artical7.asp di akses 2 Juni 2010 pk. 18.00 WIB
http://www.globalissues.org/article/163/media-in-the-united-states di akses tanggal 2 Juni 2010 pk. 17.00 WIB

Fenomena Pengemis di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah, dan merupakan bulan yang paling dinanti oleh seluruh umat Muslim. Keindahan ramadhan mengajak setiap umat manusia untuk berbagi dengan sesamanya dan berlomba untuk megumpulkan pahala. Sayangnya, hal ini diiringi oleh meningkatnya banyak sindikat pengemis untuk meraup penghasilan yang lebih banyak dari biasanya di banyak sudut kota Surabaya. Bahkan, momen ramadhan ini sengaja dimanfaatkan sebagian orang untuk berprofesi sebagai pengemis musiman. Mereka datang dari daerah-daerah disekitar Surabaya, yang mungkin sebagian besar penduduknya sudah melakukan profesi pengemis ini dan memanfaatkan bulan ramadhan.
Pemerintah daerah Surabaya melakukan berbagai cara untuk menanggulangi ledakan pengemis dadakan dibulan ramadhan ini dengan melakukan berbagai razia ditempat-tempat ibadah, pinggir jalan, dan pusat kota. Tetapi sepertinya langkah ini tidak cukup efektif untuk membendung ledakan urbanisasi pengemis ini. Penyusunan rancangan peraturan daerah tentang anak jalanan, pengemis, dan gelandangan pun tidak banyak membuahkan hasil. Hal ini hanya akan memicu kontroversi tentang larangan berbuat baik manusia kepada manusia lain. Sanksi pidana yang diberikan kepada pemberi sedekah pun dianggap tidak sesuai dengan hak asasi manusia. Koordinasi dengan LSM dan dinas sosial kota Surabaya, juga tidak menjamin bahwa pengemis yang sudah mendapatkan bimbingan dan pelatihan tidak akan mengulangi hal tersebut atau bahkan berhenti menjadi pengemis.
Cara-cara yang dilakukan, seperti razia, penyusunan Perda, koordinasi dengan berbagai LSM dan dinas sosial, juga langkah-langkah untuk menanggulangi masalah tahunan yang melanda Surabaya hanyalah bersifat sementara, dan bukan merupakan cara yang dapat memberantas banyaknya pengemis secara holistik. Akan lebih baiknya, kita perlu meneliti secara keseluruhan penyebab maraknya “profesi kecil” yang menguntungkan beberapa sindikat didaerah asalnya. Sehingga banyaknya kucuran dana yang dikeluarkan untuk menangani persoalan ini tidak sia-sia, dan benar-benar memperoleh hasil yang maksimal.
Hal pertama yang menyebabkan meningkatnya jumlah pengemis diberbagai kota dikarenakan oleh faktor ekonomi yang tidak merata. Hal ini merupakan hal vital bagi keperluan manusia sehari-hari. Harga kebutuhan pokok yang melonjak tajam, terutama di bulan ramadhan ini, tidak diiringi dengan kesejahteraan masyarakat. Hal kedua adalah pola pikir masyarakat yang dangkal. Mereka menggunakan cara-cara instan untuk bertahan hidup, tanpa harus bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sehingga, dengan memanfaatkan hati nurani yang dimiliki oleh setiap manusia, dengan bermodalkan pakaian compang-camping, luka buatan, dan wajah memelas, mereka hanya duduk dipinggir jalan dan menunggu belas kasih dari orang lain.
Ini memang merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dihindarkan. Memang ironis melihat kondisi seperti ini, ketika seseorang memanfaatkan niat baik dari orang lain bahkan menjadikannya sebagai suatu “profesi” yang dilakukan hampir setiap hari. Apa jadinya bangsa Indonesia yang besar ini jika memiliki pola pikir yang instan tanpa perjuangan yang berarti ? Maka dari itu, untuk menanggulangi masalah ini diperlukan koordinasi dari jajaran pemerintahan juga masyarakat disekitarnya. Kita setidaknya lebih pandai dalam bersedekah. Banyak tempat untuk menyalurkan amal kita, seperti panti sosial, tempat ibadah, dan yayasan-yayasan sosial lainnya. Dengan begitu, kita dapat memberi sedikit pelajaran pada para pengemis itu untuk tidak menggantungkan hidupnya pada belas kasihan orang semata. Untuk itu kita sekaligus berpartisipasi untuk tidak merusak moral bangsa dengan cara instan dan niat baik di bulan suci ramadhan dapat terlaksana.

Senin, 09 Agustus 2010

KOMPLEKS

Sudah hampir setahun setelah kejadian saat orang yang saya sayangi mengkhianati perasaan saya. Ini memang bukan waktu yang singkat buat saya untuk melupakan suatu hal yang pahit dan mungkin menyayat hati kita. Dalam kurun waktu setahun ini, saya memang sudah memaafkan apa yang dia lakukan kepada saya. Tidak ada salahnya bagi kita untuk memberikan kesempatan kedua. Halaman barupun ditulis, saat saya memberinya kesempatan utnuk memperbaiki kesalahan yang telah ia buat. Banyak hal yang saya lalui, dan berbagai cara saya lakukan untuk melupakan hal yang sangat menyakiti hati saya. Sedikit berhasil dan cukup mengalihkan perhatian saya, sehingga kepercayaan yang telah diruntuhkannya, boleh dibangun sedikit demi sedikit.

Bisa dibilang, hubungan kedua ini cukup nyaman dilalui, meskipun pada awalnya, saya masih belum bisa menerima dia sepenuhnya. Ada satu hal yang masih sangat mengganggu perasaan dan pikiran saya. Satu kata TRAUMA. Ya, saya trauma dengan hal ini. Hal yang benar-benar dapat menghambat laju kehidupan saya. Saya sangat risih mendengar dan mengetahui berbagai hal tentang SELINGKUHANNYA. Melihat namanyapun, saya merasa ada sesuatu yang bergejolak seolah ingin memberontak dan ingin marah, serasa waktu kembali pada kejadian Juli 2009 lalu.

Saya memang hanyalah wanita biasa, yang mungkin terlihat tegar didepan, tetapi saya membutuhkan pundak untuk menangis, dan ruang untuk menumpahkan apa yang saya rasakan. Pada waktu itu, mungkin itu adalah pertama kalinya ia menyakiti saya. Tetapi, meskipun luka itu sudah tertutup, tetapi bekasnya masih ada dan selalu mengingatkan saya akan kejadian buruk itu.

Sungguh hal yang sangat ironis sekali, saat saya mencoba untuk menyanyanginya lebih lagi, ia malah pergi dengan perempuan pilihan kakaknya. Saya ingin sekali menghapus semua tentang ia dan selingkuhannya itu. Butuh waktu berapa lama? agar saya berhasil mencuci otak saya, agar saya tidak mengenal mereka berdua dan menghilangkan semua kenangan yang pernah saya bangun denganya.

Mencoba melakukan apa yang Tuhan katakan untuk mengasihi musuh kita memang benar-benar sulit. Semakin saya berbuat baik padanya, semakin menangis hati saya mengingat hal itu. Saya mencoba tidak menjadi orang kebanyakan, tetapi hal tersebut sungguh menyakiti saya sendiri dan perasaan saya.

Kebingungan melanda ketika saya harus melihat namanya dan wanita yang pernah menyakiti saya. Saya ingin meminta pada Tuhan, agar Tuhan mau menghapus semua pikiran saya tentang mereka. Apakah saya orang yang begitu jahat ? sampai saya tak bisa mengasihi orang yang telah meninggalkan bekas pahit di hati saya ?

Kamis, 05 Agustus 2010

FEMINISME

Feminisme : Gerakan Perempuan dalam Dunia Internasional

Sering kali kita melihat, posisi perempuan dipandang sebelah mata dalam segala aspek kehidupan. Tetapi, sebenarnya seorang pria yang sukses, tidaklah lepas dari seseorang wanita yang mendampinginya. Feminisme dalam ilmu Hubungan Internasional diidentikan dengan perempuan, yang membahas topik kesetaraan seksual dan hak-hak perempuan. Anggapan dangkal tersebut, tidak mencerminkan luasnya pemikiran kelompok yang termajinalkan. Ujung pangkal pemikiran feminis ini adalah usaha mereka dalam mengkontruksi pengetahuan tentang dunia adalah keseharian dan pengalaman-pengalaman perempuan. Seperti cara-cara bagaimana perempuan mengalami bentuk penguasaan atau otoritas, jaminan keamanan yang mempriotaskan hal-hal yang paling ditakuti perempuan (Llyod&Pettiford,2009:321).
Perdebatan teoritis Hubungan Internasional sangat terbuka dengan pemikiran-pemikiran baru di akhir 1980-an. Pemikiran feminis kovensional membagi feminisme dalam paham liberal, marxis, dan radikal (kritis dan posmodernis) (Llyod&Pettiford,2009:326). Pengertian modernisme tentang kemajuan masyarakat manusia, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, mendorong seorang liberalis Elizabeth Stanton (1815-1902) berpendapat bahwa ‘ilmu sosial’ menunjukkan status perempuan merupakan salah satu ukuran kemajuan dan peradaban masyarakat. Stanton berpendapat bahwa posisi perempuan tidak diatur oleh Tuhan dan ditentukan oleh alam. Dalam perspektif liberal, mereka memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam ruang publik merupakan suatu kunci utama dalam usaha meningkatkan status perempuan. Jadi, baik perempuan maupun laki-laki adalah makhluk rasional yang mempunyai hak partisipasi dalam kehidupan politik (Llyod&Pettiford,2009:327).
Dari perspektif marxis, kesenjangan terhadap perempuan disebabkan oleh hak yang berakar dari pandangan tentang sifat asli manusia yang individualistik dan anti-sosial. Kepercayaan terhadap realigi tradisional, tidak mengakhiri kesenjangan tersebut, terlebih membentuk suatu subordinasi sosial baru yang dikarenakan kapitalisme. Feminis marxis, mengembangkan suatu analisis mengenai hubungan marxis antara kapitalisme dan pembagian tenaga kerja berdasar jenis kelamin. Argumen mereka menjelaskan bahwa kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi sosial menciptakan suatu pembagian yang nyata antara ruang publik di dunia kerja dan ruang privat di rumah. Hal ini yang memunculkan perbedaan antara ‘kerja’ dan ‘produksi’ sehingga pekerjaan perempuan menjadi diremehkan. Pekerjaan perempuan dikontruksikan sebagai sesuatu yang dikerjakan sebagai suatu kesenangan meskipun hal tesebut berat – a labour of love – (Llyod&Pettiford,2009:329). Dalam wilayah rumah yang privat ini, realitas terhadap idealisasi perempuan mengaburkan hubungan kekuasaan dan kesenjangan yang terdapat dalam publik. Berdasar dari wilayah privat tersebut, privatisasi perempuan kerap dilakukan bagi pengeksploitasian tenaga mereka. Penekanan dari eksploitatif inilah feminis marxis menyimpulkan bahwa perempuan memiliki kepentingan yang sama (Llyod&Pettiford,2009:331).
Berangkat dari pembagian antara privat dan publik, feminis radikal membahasnya lebih dalam. Berasal dari sesuatu yang personal –privat- sangatlah politis. Bagi feminis radikal, kehidupan konvensional yang ditandai dengan partikularisme dan cinta, merupakan suatu bentuk subordinasi atau dominasi. Maka dari itu, suatu kebebasan manusia didapat dengan merubah ruang-ruang yang paling pribadi dalam hubungan manusia. Kaum ini mengembangkan suatu konsep patriarki untuk menjelaskan penginstitusionalisasian dominasi laki-laki terhadap perempuan tidak hanya berasal dari identitas dan seksualitas, tetapi hubungan tersebut ditentukan oleh keberadaan lembaga-lembaga dan praktik sosial (Llyod&Pettiford,2009:333). Feminis kritis menekankan kedalam sifat dasar lembaga dan praktik sosial yang patriartikal, sekaligus mengkritisi feminis liberal dan marxis dalam mendorong perempuan untuk meniru laki-laki atau hal yang menjadi ‘nilai laki-laki’ (Llyod&Pettiford,2009:334).
Kaum feminis posmodernis sedikit berbeda dengan konsep sebelumnya. Bagi mereka sangatlah salah menyalahkan budaya keterbelakangan. Perempuan tidak dianggap sebagai korban dari penindasan. Perempuan bukan berarti bukan tanpa kekuasaan, tetapi seiring dengan peran-peran tradisional yang dimilikinya, pengaruh dan kekuasaan perempuan dapat dimaksimalkan. Untuk mencapai suatu tingkat kekuasaan terhadap kehidupan mereka sendiri dan memengaruhi orang lain, perempuan dapat menggunakan seluruh sumber daya yang tersedia (Llyod&Pettifor,2009:337). Pengalaman yang dimiliki perempuan dapat mengkontruksikan suatu pemahaman tentang dunia sosial dan politik, ketimbang pemahaman tentang perbedaan tradisional melalui bahasa, simbol, dan cerita yang dijalin (Llyod&Pettiford,2009:338).
Berasal dari asumsi-asumsi pemikiran feminis yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa kaum feminis menganggap bahwa sifat dasar manusia sebagai sesuatu yang dinamis, karena ada hubungan erat antara teori-teori tentang dunia dengan kebiasaan kita. Perspektif ini membuat suatu perbedaan yang jelas antara ‘fakta’ dan ‘nilai’. Serta komitmen mereka pada ide kemajuan sosial dan kebebasan, emansipasi, kaum perempuan (Llyod&Pettiford,2009:339).
Komitmen bersama dalam gerakan emansipasi politik memperjuangkan posisi perempuan dalam dunia sosial dan politik terlihat di awal 1960-an, ketika Amy Swerdlow menunjukkan aktivitas Demonstrasi Wanita bagi Perdamaian (WSF) menunjukkan ketidak puasan mereka terhadap keputusan Kennedy dalam perjanjian pengendalian nuklir Soviet (Swerdlow 1990 dalam Jackson&Sorensen,2005:325). Politik emansipasi feminis berbeda-beda, dari pandangan feminis kritis, dalam mengemansipasi perempuan, maka diperlukan suatu perubahan mendasar dari lembaga dan praktik sosial yang patriarkis, feminis konvensional mendorong agar perempuan meniru ‘nilai laki-laki’, dan feminis posmodernis menganggap suatu emansipasi perempuan berawal ketika mereka mampu memaksimalkan ‘kekuasaan tradisional’ yang dimilikinya dengan menggunakan sumber daya yang dimilikinya. Keberhasilan emanispasi politik terlihat dengan adanya Decade for Women (1975), agensi-agensi pembangunan PBB memasukkan seksi-seksi yang secara khusus ditugaskan untuk meningkatkan posisi perempuan dalam pembangunan – Women in Development -, juga mengangkat isu tentang persamaan jenis kelamin dan diskriminasi terhadap perempuan (Llyod&Pettiford,2009:335).
Pembangunan perempuan dan penyuaraan terhadap persamaan gender, semakin menambah pluralitas aktor dalam Hubungan Internasional. Perspektif yang lahir di era 1980-an, tidak begitu memfokuskan aktor terhadap negara, tetapi lebih dari “dalam” suatu negara tersebut digerakkan. Adanya unsur feminisme dalam aktor Hubungan Internasional, dapat mengubah suatu sikap politik yang selama ini identik dengan maskulin dan rasionalitas, sekaligus menambah ragam dari aktor-aktor Hubungan Internasional, yang tidak hanya negara, pemimpin negara yang ‘maskulin’, tetapi juga melihat sosok lain dibalik kemaskulinitas yang mempengaruhi suatu kebijakan.
Pemikiran feminis tentang perdamaian kebanyakan berasal dari feminis radikal. Menurut sejarah, ada hubungan antara perdamaian dan perempuan. Contohnya adalah pergerakan suffragette perempuan di Inggris, yang berpendapat bahwa naluri keibuan membuat mereka berbeda dengan laki-laki, kedamaian perempuan merupakan bukti dari superiotas moral daripada inferioritas. Ide ini terdengar melalui ‘feminisme moral’ 1980 – 1990-an yang menyuarakan inklusi perempuan ke dalam elit-elit pemereintahan, karena adanya perempuan akan mempengaruhi kebijakan luar negeri semua negara. Perdamaian di mata kaum feminis menekankan keterhubungan manusia, dialog, dan kerja sama atas dominasi dan konfrontasi kekerasan (Llyod&Pettiford,2009:365) . Robert Keohane, seorang feminis HI, optimis terhadap kerja sama lateral antara entitas yang terorganisir, negara dan sebaliknya, karena posisi perempuan lebih terkenal dalam politik dunia (Keohane 1989b, dalam Jackson&Sorensen,2005:336). Tetapi sebagian lain pesimis, karena prospek aliansi tersebut dapat menimbulkan subordinasi gender menurut prioritasnya sendiri (Zalewski 1993, dalam Jackson&Sorensen,2005:336).
Referensi :
Sorensen, Georg dan Robert Jackson.2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional: Posmodernisme.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Steans, Jill and Llyod Pettiford. 2009. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema. Jakarta, Pustaka Pelajar

POSMODERN | perspektif HI

Postmodernisme


Posmodernisme berangkat dari sub teori kritis, sama seperti kontruktivisme. Berawal dari para kelompok filosof Perancis –terutama Michael Foucault - sejak awal 1980-an pasca perang menentang filsafat eksistensialisme, posmodernisme digolongkan sebagai teori sosial. Para kaum posmodern lebih sering disebut dengan teori dekontruksi atau post-strukturalisme (Burchill,2005:166). Teoritisi terkemuka posmodernisme dalam Hubungan Internasional adalah Richard Ashley. Karena masih termasuk dalam teori kritis, tujuan dari adanya posmodernisme ini adalah mengeluarkan para ilmuwan dari penjara konseptualnya, sehingga mereka dapat berpikir bahwa adanya modernisasi menyebabkan kemajuan dan kehidupan yang lebih baik bagi semuanya. Llyotard (1984) mengungkapkan bahwa posmodernisme dijelaskan sebagai ketidakpercayaan menuju metanaratif. Metanaratif adalah pemikiran seperti neo-realisme dan neo-liberalisme yang menyatakan telah menemukan kebenaran tentang dunia sosial (Jackson&Sorensen,2005:303).
Dari perspektif posmodern, studi tentang perpolitikan dunia lebih sering dipakai daripada Hubungan Internasional. Hal ini disebabkan karena studi ini menggabungkan studi tentang serangkaian besar proses, isu, dan kelompok. Studi ini juga memfokuskan pada cara penerapan kekuasaan dalam wacana dan praktik-praktik perpolitikan dunia. Posmodernisme memetakan berbagai ragam cara pengkontruksian dan penggunaan ruang politik oleh individu dan kelompok, menguraikan proses-proses yang kompleks dalam pengkontruksian identitas politik, juga mengakui perbedaan dan keberagaman di antara beragam orang dan lintas budaya; mendorong penyebarluasan berbagai pendekatan dan pandangan dunia karena hal ini akan berakibat penggantian atau pelemahan bentuk-bentuk pengetahuan yang ortodoks dan kekuasaan yang hegemonik; juga menyoroti isu-isu atau masalah yang sering kali dianggap remeh guna mengekspresikan individu atau kelompok yang telah di marjinalkan dalam Hubungan Internasional (Llyod&Pettiford,2009:268).
Posmodernis berusaha untuk menelusuri dan menafsirkan peristiwa-peristiwa, sesuai dengan gagasan ide tentang arah maupun pola umum dari sejarah. Foucault menggunakan sebuah metode yang disebut dengan ‘genealogi’ untuk menelusuri jejak ketidak terhubungan dan keterputusan sejarah guna menekankan singularitas peristiwa-peristiwa, bukan menjelaskan kecenderungan sejarah (Llyod&Pettiford,2009:282). Dengan menggunakan konsep tersebut, maka posmodernisme melihat bahwa suatu pengetahuan dan kekuasaan tidak terpisahkan, sehingga sejarah yang selama ini dituliskan merupakan suatu bentuk dominasi atau politisasi pengetahuan (Burchill,2005:162).
Yang menjadi sasaran utama posmoderinis adalah genealogi neorealisme. Asumsi neo-realis yang masih negara-sentris juga fokus pada perang sebagai instrumen kepentingan nasional dalam sistem internasional yang anarki. Kritik kaum posmodernisme terhadap genealogi neo-realisme ditekankan pada bias kaum strukturalis menyangkut teori dan pengaruhnya terhadap realisme. Struktur anarki sistem internasional menghadapkan aktor-aktor individual sebagai realitas material yang given yang tidak dapat diubah; adaptasi hanyalah pilihan mereka (Ashley 1986:289, dalam Jackson&Sorensen,2005:304). Dengan penjelasan historis tentang sistem internasional tersebut, maka aktor-aktor yang ada didalamnya dipaksa untuk menjadi objek yang harus berpartisipasi dalam struktur yang anarki (Ashley 1986, dalam Jackson&Sorensen,2005:305). Yang kedua adalah genealogi neo-realis yang menganggap bahwa teori miliknya adalah suatu “fakta”, tetapi menurut posmodernisme tidak ada landasan yang mengakibatkan suatu ilmu sosial bersifat netral, adanya landasan historis, budaya, dan politis yang menyebabkan ilmu tersebut menjadi bias (Jackson&Sorensen,2005:304).
Der Derian (1989) menngungkapkan bahwa posmodernisme berkaitan dengan upaya untuk menunjukkan ‘saling pengaruh tekstual dibalik kekuasaan politik’, terutama terhadap efek tekstualitas di antara kekuasaan politik, namun secara intrinsik berada didalamnya. Tekstualitas merupakan tema umum posmodern, dan berasal dari definisi ulang Derrida mengenai ‘teks’ dalam Of Grammatology. Derrida tidak membatasi teks atas literatur atau gagasan, seperti yang disalah artikan sejumlah orang. Ia mengibaratkan dunia seperti sebuah teks, dan seseorang merujuk pada suatu yang nyata tersebut kecuali dengan pengetahuan interpretatif. Posmodernisme secara tegas menganggap bahwa interpretasi sangat diperlukan dna fundamental dalam pembentukan dunia sosial. Textual interplay merujuk pada hubungan yang saling membentuk dan menambah antara interpretasi yang berbeda mengenai representasi dan susunan dunia, maka dari itu diperlukan strategi dekontruksi dan pembacaan ganda (Burchill,2005:253). Foucault menyatakan bahwa masyarakat menghasilkan kebenaran mereka sendiri yang mempunyai fungsi-fungsi normalisasi dan pengaturan (Llyod&Pettiford,2009:284). Kebenaran yang diciptakan suatu masyarakat dapat berasal dari interpretasi suatu masyarakat terhadap suatu ‘teks’ , pengetahuan, atau ideologi, sehingga suatu keadaan sosial dilihat dari banyak segi (multi-facet). Dengan begitu, dalam bahasannya tentang Hubungan Internasional, posmodernisme tidak memberikan suatu kepastian tentang apa Hubungan Internasional tersebut. Tetapi berasal dari ‘teks’ yang sudah ada, individu dapat menginterpretasikan bagaimana Hubungan Internasional tersebut menurut pendapatnya.
Strategi yang sering digunakan posmodern adalah dekontruksi, sehingga kaum posmodernis adalah kaum dekontruktivis. Dekontruktivisme mengandung oposisi biner, dimana konsep baru lahir dari konsep itu sendiri (Burchill,2005:177). Derrida mengatakan suatu konsep bersifat struktural parasit dan terkontaminasi, sehingga konsep tersebut tidak bersifat netral (Burchill,2005:169). Posmodernisme mendekontruksikan suatu bentuk diplomasi dalam hubungannya dengan negara. Terminologi negara yang merupakan suatu state-craft- suatu seni yang menjalankan dan mengatur urusan pemerintahan-, yang mengacu pada statesmanship dalam tinjauan kebijakan luar negeri, urusan dengan pengusaha asing, juga kemampuan dalam memerintah. Kegiatan diplomasi yang diwarnai dengan pidato politik, pembentukan kebijakan luar negeri, dan praktik diplomasi oleh para elit politik adalah merupakan proses state-craft yang dinamis dalam pembentukan suatu identitas negara. Sehingga para posmodernis lebih menganggap negara sebagai suatu performance elit politik dalam hubungan diplomatik dengan badan berdaulat lainnya (Llyod&Pettiford,2005:293).
Karena bersifat dekontruktivis, maka posmodernisme dapat digolongkan menjadi anti-positivisme. Posmodernisme menentang epistomologi suatu teori yang bersifat universal. Mereka menganggap suatu wacana atau ideologi tidaklah bersifat netral dan bias. Posmodernisme sedikit lebih ‘terbuka’ terhadap pengetahuan, karena suatu wacana merupakan bentuk interpretasi individu, sehingga posmodernisme dikenal dengan nihilisme yang menolak adanya landasan-landasan dalam ilmu sosial. Selain itu, positivisme yang dicirikan sebagai neo-realis membatasi imajinasi masyarakat terhadap suatu fenomena sosial, karena penekanan mereka pada pengulangan dan kesinambungan (Walker 1995, dalam Jackson&Sorensen,2005:305). Anti-positivis memberi suatu analisis skeptis terhadap suatu preposisi umum yang mampu mengeluarkan masyarakat dalam pemikiran konvensional, bahwa segala sesuatu adalah given dan terus berulang.
Ontologi (objektifisme) merupakan objek atau sasaran yang ingin dicapai oleh suatu teori. Isu ontologi hirau pada realitas objektif (Jackson&Sorensen,2005:314). Ontologi posmodernisme menolak bahwa dunia adalah suatu realitas objektit; ia adalah kontruksi bedasarkan bahasa, pemikiran dan konsep. Bagi posmodernisme, realitas adalah suatu ciptaan subjektif masyarakat, sehingga pernyataan bahwa adanya interpretasi terhadap dunia sosial politik adalah masuk akal. Tetapi sifat nihilisme –tidak ada titik akhir yang jelas- yang ada pada posmodernisme, membuat perspektif ini tidak memiliki landasan-landasan aksiologis, sehingga posmodernisme berisfat eksklusif dan dapat menjadi terasing dari dunia sosial politik (Jackson&Sorensen,2005:306).

Referensi :
Burchill, Scott et al, 2005. “Theory of International Relations : Postmodernism. 3rd edition”. New York : Plagave Camillan.
Sorensen, Georg dan Robert Jackson.2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional: Posmodernisme.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Steans, Jill and Llyod Pettiford. 2009. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema. Jakarta, Pustaka Pelajar

Transformasi Politik Dunia

Apakah globalisasi mengubah peta politik dunia ?
Ya, menurut David Held, globalisasi mentransformasi dasar tatanan dunia dengan mengubah bentuk tradisional kedaulatan dan mengatur kembali hubungan politik internasional (Held,1999 ,p.85). Peta politik dunia konvensional sangat dekat dengan konsep kekuatan politik geografi. Hanya wilayah yang mempunyai kekuatan besar sajalah yang terlihat di peta dunia. Tetapi pembagian peta politik dunia semakin rentan, di awal abad ke-dua puluh. Hal ini disebabkan karena adanya deteritorialisasi politik, peraturan, dan pemerintahan (Held,1999,p.32). Karena adanya deteritorialisasi tersebut, maka munculah regionalisme sebagai tempat berlindung dari ancaman deteritorialisasi yang disebabkan oleh globalisasi tersebut. Globalisasi juga menghasilkan institusi,organisasi, dan rezim, juga pemerintahan global yang digunakan untuk mempercepat interkoneksi negara-bangsa.

Bagaimana konfigurasinya ?
Pertama, David Held memfokuskan transformasi politik melalui keadaan teritorial hingga munculnya modern nation-state, juga pertumbuhan lintas batas dan transnasional. Held menjelaskan klasifikasi transformasi keadaan teritorial perubahan peta politik dunia diawali pada sistem kerajaan di sekitar abad ke-enam belas. Di era ini, keadaan dunia masih disibukkan dengan adanya perang. Ketika kekuatan militer jatuh, maka ekonomi diutamakan pada hasil “pengabdian” pada kerajaan. Fokus politik dunia saat itu adalah geografi kekuatan politik, yang dikembangkan sebagai hasil ekspansi dari kekuatan dan negara yang terbatas (Held,1999,p.33). Peta politik dunia saat itu masih sulit untuk diartikan, karena kekuatan militer yang digunakan sebagai sarana untuk mengintergrasi teritori dan masyrakat tidak sama dengan kekuatan politik. Hampir seluruh kerajaan dapat menunjukkan kekuatan dan ancaman militernya daripada meregulasi kekuatan politik dan kontrol terhadap administratif – institusi, organisasi, informasi, dan perseorangan – (Held,1999,p.34).
Masa kedua yang dijelaskan Held adalah era pertengahan Eropa yang ditandai dengan kecocokan, keterikatan, dan kewajiban. Point referensi utama politik dimasa ini adalah doktrin religius yang diberikan dengan asumsi tentang universal nature komunitas manusia. Kehidupan ekonomi dimasa ini didominasi oleh pertanian, yang setiap keuntungan adalah tuntutan terhadap musuh. Karena tuntutan yang sukses membantu membangun kekuatan militer. Masyarakat kota dan urbandi era pertengahan bergantung pada perdagangan, manufaktur, dasar sumber daya independen dan sistem otonomi yang diberikan oleh penyewa, inilah yang disebut dengan struktur alternatif politik di kota dan desa (Held,1999,p.35).
Setelah medieval era, munculah keadaan modern yang memunculkan interstate system. Erosi terhadap medieval era terlihat dengan adanya pemberontakan petani terhadap pajak, transformasi teknologi, pemberontakan terhadap gereja, dan konsolidasi terhadap pemerintahan monarki. Di era ini fokus terhadap absolutisme yang terlibat dalam perkembangan pembentukan negara berdasar beberapa elemen, seperti penyerapan unit politik lemah dan kecil mejadi struktur politik yang besar dan kuat,dan kekuatan kemampuan untuk mengatur sebuah wilayah kesatuan, dan pengencangan sistem hukum dan perintah didalam wilayah, sentralisasi, dan munculnya keadaan kompetitif yang sarat akan resiko power struggle (Poggi,1978, cited in Held,1999,p.36). Dalam pencarian membuat sebuah sistem peraturan yang sentral, absolutisme melindungi jalan bagi munculnya sekularitas dan kekuatan sistem nasional (Held,1999,p.36).
Di akhir abad ke-tujuh belas, Eropa mengalami perkembangan menjadi himpunan negara-negara (society of states). Konsolidasi kekuatan dari setiap negara hampir di waktu yang bersamaan merupakan bagian dari keseluruhan proses formasi interstate (Giddens,1985, cited in Held,1999,p.37). Untuk menghindari adanya persaingan otoritas di setiap negara, maka diberikan pengakuan hak otonomi dan saling menghormati didalam batas-batas negara mereka. Munculnya himpunan Eropa merupakan artikulasi dari konsep baru terhadap hukum internasional yang mengacu pada Westphalia. Sehingga kedaulatan teritorial merupakan persamaan formal agar tidak adan intervensi terhadap urusan domestik. Hubungan diplomatik meningkat, tetapi kerjasama masih minim, karena mereka meletakkan kepentingan nasional diatas segalanya. Mereka juga menerima principle of effectiveness yang merupakan prinsip dalam penentuan hak-hak di dunia internasional (Held,1999,p.37).
Sentral dari tatanan baru dunia internasional adalah modern nation-state. Didalamnya terdapat teritorialitas yang berarti batas-batas negara sudah ditentukan. Kedua adalah kontrol secara monopoli berarti kekerasan berarti terlibatnya kekuatan militer untuk mendobrak kekuatan rival , impersonal struktur kekuatan berati adanya yuridikasi tertinggi untuk mengadili suatu hak dan peraturan yang sesuai untuk masyarakat, dan perbedaan tuntutan untuk pengesahan yang berarti kesetiaan terhadap rakyat menjadi sesuatu yang harus dimenangkan (Held,1999,p.45).

Apa saja varian-varian utamanya ?
Dengan sudah ditentukannya batas-batas teritorial negara yang mampu melindungi negara tersebut maka sekarang ini, semua negara-bangsa secara berangsur membentuk suatu jaringan dengan pola yang besar dalam transformasi global dan arus global. Jaringan trannsnasional berkembang di berbagai area (Nierop,1994,cited in Held,1999,p.49). Hal ini dan mampu mejadikan sebagai interkoneksi global yang ditandai dengan pola kekuatan, hirarki, dan ketidaksamaan yang didukung oleh adanya politik global, pemerintahan global, rezim internasional, dan kedaulatan negara. Varian pertama adalah politik global yang mengusahakan perbedaan antara domestik dan internsional, didalam/keluar, politik teritorial/non-teritorial. Politik global ini juga memberi perhatian pada kekayaan,kompleksitas, dan interkoneksitas antara negara dan masyrakat di tatanan global. Politik global sekarang ini tidak hanya mencakup militer dan keamanan, tetapi isu-isu lingkungan, ekonomi, dan sosial. Karena pertahanan dan isu keamanan tidak lagi mendominasi agenda global, maka pemerintahan global tidak lagi terdiri dari institusi formal, tetapi juga non-formal seperti kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan organisasi-organisasi (Held,1999,p.50).
Politik global mengharapkan gagasan yang luas tentang pemerintahan global sebagai elemen yang dibutuhkan dalam perubahan konstelasi kehidupan politik. Pertumbuhan beberapa bentuk dari agen politik dan organisasi merefleksikan cepatnya ekspansi hubungan transnasional. Varian ketiga adalah rezim internasional yang merupakan bentuk prinsip implisit atau eksplisit dan prosedur pembuatan keputusan disekitar ekspetasi aktor mengenai isu internasional (Krasner,1983, cited in Held, 1999,p.51). Rezim internasional mempunyai inti sebuah organisasi intergovernmental, yang timbul dari perjanjian yang spesifik, kdan kebijakan kolektif atau komunitas transnasional. Adanya rezim internasional menandai pertumbuhan institusionalisasi dalam politik global (Young,1989, cited in Held,1999,p.51). Varian terakhir adalah kedaulatan negara. Ketika melihat efek dari hubungan antar negara dan tatanan dunia sekarang ini dapat mereduksi kedaulatan negara dan digantikan dengan otoritas yang lebih tinggi yang dapat memperngaruhi proses pembuatan keputusan sehingga menyebabkan deteritorialisasi (Held,1999,p.51).

Ke arah mana perkembangannya ?
Tatanan dunia global dimengerti sebagai gabungan yang komplek dengan interkoneksi dalam interstate system. Hal tersebut ditanamkan dalam perkembangan bertahap regionalisme dan jaringan politik global (Held,1999,p.85). Politik global memunculkan elemen-elemen baru tetang hukum kosmpolitan (Held,1999:77). Mann (1993) mengatakan bahwa politik global adalah new millenium. Karena perkembangan dari institusi,rezim,pemerintahan,perubahan struktur, dan munculnya regionalisme merupakan pengurangan dari state-centric politics dan lebih pada bentukan baru multilayerd global governance (Held,1999,p.85). Tetapi Bull, berpendapat bahwa politik global merupakan neo-medieval, karena politik global tidak berubah secara fundamental. Neo-medieval dapat dipikirkan sebagai salah satu kelanjutan ruangan politik dan komunitas politik yang dibentuk oleh teritorial, kedaulatan negara. (Held,1999,p.86).

Referensi :
Held, David et al. 1999. “The Territorial State and Global Politics” dalam “Global Transformation: Politics,Economics, and Culture”, Stanford: Stanford University Press, pp. 32-86

Strategi Pembangunan Ekonomi Indonesia

Chriscahyanti Sofi Yustisia 070912025

Disamping kegiatan politik dan penegakan hukum suatu negara, perekonomian merupakan salah satu aspek vital yang terus mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Berbagai cara diusahakan oleh pemerintah untuk mendapatkan situasi ekonomi dalam keadaan ekuilibrium, sehingga stabilitas pemerintahan dapat terjaga. Sepanjang sejarah Indonesia, ada dua strategi yang digunakan untuk menjaga keseimbangan ekonomi Indonesia, dan kedua strategi ini sangat bertentangan dan digunakan dalam rezim yang berbeda pula. Rezim orde lama yang dipimpin oleh Soekarno yang dikenal dengan aliran komunisnya yang sangat kental, membentuk suatu strategi pembangunan ekonomi ‘berorientasi ke dalam’, sementara rezim Suharto, era Orde Baru, memiliki suatu pandangan yang lebih modern dibanding dengan pemimpin sebelumnya, sehingga strategi pembangunan ekonomi yang diterapkan ‘berorientasi ke luar’. Kedua strategi tersebut, pernah diterapkan di Indonesia, dengan tujuan awal untuk menyejahterakan rakyat. Tetapi, pembangunan ekonomi ‘berorientasi ke dalam’ seolah mati, dibanding dengan pembangunan ekonomi ‘berorientasi keluar’ yang lebih banyak digalakkan oleh pemimpin-pemimpin Indonesia setelah rezim Soekarno runtuh.
Menilik dari sejarah, awal mula pembentukan strategi pembangunan ekonomi berorientasi keluar ini adalah sistem ekonomi sosialis versi Soekarno –Sosialisme ala Indonesia- yang menekankan perubahan radikal dan tidak adanya campur tangan pihak asing dan juga modalnya dalam perekonomian Indonesia gagal diterapkan, sehingga menyebabkan krisis ekonomi yang sangat parah dan juga kekecewaan rakyat. Gagalnya sistem radikal yang dianut oleh Soekarno terlihat ketika cadangan devisa pemerintah pada April 1966 merosot sampai angkat delapan juta dolar Amerika, sedangkan Indonesia membutuhkan pasokan beras dan biaya untuk mengimpor beras di perkirakan seratus juta dolar Amerika . Pemimpin Indonesia memang dihadapkan pada situasi yang sulit, dimana dengan tujuan untuk menjaga stabilisasi negara dan mengatasi krisis yang sangat mencekik saat itu, pilihan strategi ‘berorientasi ke dalam’ dengan cara menggunakan bantuan pihak asing secara hati-hati, memperkuat masyarakat bisnis pribumi, mengubah secara perlahan manufactur dan pentingnya posisi pemerintah dalam pasar dan perusahaan swasta, memakan waktu yang lama untuk mencapai titik ekuilibrium, sehingga strategi ‘berorientasi ke luar’ dengan stempel (shock-treatment approach), membutuhkan bantuan asing dalam penyelesaiannya dan membiarkan pasar berjalan sesuai mekanismenya yang berkembang, dirasakan lebih menjanjikan karena memakan waktu yang cukup cepat dibanding strategi ekonomi yang pertama.
Melihat situasi tersebut pemimpin Orde Baru memilih menggunakan strategi yang memungkinkan perusahaan-perusahaan swasta memainkan peran aktif dalam pasar bebas sehingga pemanfaatan modal asing dapat dimaksimalkan. Dalam proses penerapan kebijakan ekonomi ini diperlukan perombakan secara struktural dibanding dengan kegiatan perekonomian yang dijalankan sebelumnya. Para petinggi negara melakukan berbagai upaya untuk meyakinkan para negara kreditor agar mau bekerja sama untuk memberikan ‘dana bantuan’ pada Indonesia dengan suku bunga yang rendah. Hal ini memang bukan suatu hal yang mudah, dikarenakan oleh sikap Soekarno yang sebelumnya ‘menendang’ para negara kreditor terbesar tersebut keluar dari Indonesia, sehingga mereka sangat berhati-hati dalam pemberian hutang kepada Indonesia. Melihat sikap para negara keditor Barat dan Jepang yang masih dingin, Indonesia bekerja sama dengan IMF (International Moneter Funds) untuk mengeluarkan ‘semacam tanda layak kredit’ sebagai cara memperoleh simpati dari negara kreditor. IMF menempatkan seorang wakil tetapnya dan menugaskannya di Bank Indonesia untuk mengadakan konsultasi harian dengan pejabat bank itu dan pejabat Departemen Keuangan tentang strategi stabilisasi ekonomi. Kerja sama Indonesia dan IMF ini merupakan kerja sama yang didasari oleh adanya kepentingan yang sama dari pemimpin Indonesia waktu dan aktor-aktor eksternal, sekaligus sebagai titik awal hutang luar negeri Indonesia yang menumpuk dan berpuncak pada krisis ekonomi tahun 1998 tersebut.
Karena proses penyelesaiannya yang tergolong cepat, strategi ekonomi ‘berorientasi ke luar’ ini banyak disetujui oleh para teknokrat. Defisit anggaran pemerintah yang selalu meningkat dan ekspansi kredit bank secara cepat di tahun 1966 harus diselesaikan pemerintah dengan cara mencari kredit baru yang tidak komersial. Namun permasalahan ekonomi tidak hanya sampai disitu saja, pemerintah juga harus memikirkan tentang pembangunan ekonomi jangka panjang, yang tidak bisa bergantung dari bantuan luar negeri, tetapi pemerintah harus menarik modal asing agar mau menanamkan modalnya sehingga geliat penetrasi modal asing di Indonesia meningkat, yang nantinya akan di integrasikan dalam sistem ekonomi dunia yang kapitalis. Para penasehat Soeharto yakin bahwa Indonesia harus kembali bergabung dengan masyarakat ekonomi politik internasional yang dilakukan dengan cara mengubah haluan politik luar negerinya. Usulan yang tercetus pada simposium 6-9 Mei 1966 di Universitas Indonesia mengarahkan pemecahan kesulitan ekonomi dalam negeri Indonesia dengan menghindari tindakan realistik yang berorientasi prestise seperti menjadi pemimpin NEFO (New Emerging Forces), penyelesaian konflik dengan Malaysia secara damai, dan masuk kembali dalam PBB serta berpartisipasi dalam lembaga-lembaga internasional lainnya.
Memulihkan kembali keadaan ekonomi yang hampir mati di Indonesia terus dilakukan dengan melakukan berbagai cara diplomasi ekonomi untuk meyakinkan negara-negara Barat, dengan menyuarakan bahwa rezim baru Indonesia telah berhasil menumpas komunis di negaranya sendiri tanpa bantuan Amerika, pembentukan lobby-lobby di Washington, normalisasi hubungan dengan Singapura dan pengusaha-pengusaha Cina, dan peninjauan kembali kebijakan luar negeri oleh menteri luar negeri, Adam Malik, yang isinya sama dengan simposium 6-9 Mei 1966. Tanggapan kreditor asing yang masih mengambang belum menunjukkan bukti dukungan terhadap Indonesia, bantuan yang Amerika kucurkan dianggap sebagai transaksi komersial yang harus di bayar kembali dengan dolar dan tingkat bunga 4,9 persen merupakan suatu pinjaman yang tinggi bagi pemerintah. Jepang juga membebani pinjaman yang lebih berat dengan tingkat bunga 5,5 persen dan dibayar dalam lima kali angsuran dengan masa tenggang empat tahun . Melihat hal itu, para pemimpin Orde Baru bersikap untuk bermain sesuai dengan aturan main yang ditetapkan oleh para kreditor, agar posisi Indonesia dalam list prioritas bantuan Amerika Serikat dipertimbangkan.
Sikap Amerika atas Indonesia yang ditunjukkan lewat duta besarnya Marshall Green dalam makalahnya yang berjudul ‘relaxed diplomacy’ memperlihatkan sikap yang sangat hati-hati dalam membuat janji dengan menteri luar negeri Indonesia yang bersikap agresif. Bukti konkret keseriusan Indonesia dalam mengemis bantuan pada Amerika terlihat setelah penandatanganan perjanjian damai dengan Malaysia 11 Agustus 1966, sekaligus sebagai tonggak kebangkitan kerja sama ekonomi bilateral Amerika – Indonesia, yang dibuktikan dengan pemberian hibah yang mencapai kurang lebih $ 40 juta di akhir 1966 . Setelah melunaknya sikap kreditor terbesar, Amerika, melunak peraturan ekonomi 3 Oktober 1966 merupakan tonggak sejarah liberalisasi ekonomi Indonesia, dan diperluas pada tanggal 10 Februari 1967 dan 28 Juli 1967, yang memuat tata cara baru pengelolaan ekonomi Indonesia yang baru. Peraturan tersebut mencakup tindakan-tindakan berikut:
1. Menyeimbangkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) melalui pemotongan belanja.
2. Peningkatan pendapatan dengan meningkatkan pajak dan mengurangi defisit dengan cara menghapuskan subsidi untuk semua perusahaan baik swasta maupun negara, agar perusahaan tersebut menjalankan usahanya lebih rasional dan efisien, yang mengakibatkan pada kenaikan harga pelayanan umum yang meningkat tajam.
3. Pembaruan moneter dengan memperketat kredit dengan peningkatan sukubunga secara tajam.
4. Pemerintah akan memberikan keistimewaan pajak kepada penanam modal asing seperti pembebasan bea masuk terhadap barang-barang konsumsi yang dibutuhkan pengurangan pajak-pajak ekspor, penyerdehanaan prosedur ekspor-impor, dan memperbolehkan eksportir dan importir menangani dokumen mereka sendiri dengan keistimewaan yang diberikan agar mereka mau menanamkan modalnya di Indonesia.
5. Pengembalian perusahaan-perusahaan asing yang diambil oleh rezim sebelumnya, dan diberikan insentif yang sama dengan perusahaan asing yang baru didirikan
6. Pemberian kembali sebagian devisa pada eksportir dalam bentuk sertifikat Bonus Ekspor, yang dapat dijual di pasar devisa bebas dan digunakan para importir untuk mengimpor berbagai mata dagagan yang diizinkan pemerintah.
7. Meninggalkan “ekonomi komando”, pemerintah membiarkan kekuatan pasar bergerak untuk membuat keputusan ekonomi.
Poin-poin dari peraturan diatas merupakan bentuk implementasi dari shock-treatment yang disarankan oleh IMF untuk strategi stabilisasi ekonomi Indonesia dan efektif diterapkan dalam jangka pendek. Disamping proses stabilisasi, pemerintah dapat merehabilitasi infrastruktur vital penggerak roda ekonomi.
Keberhasilan dari strategi ini adalah Indonesia mendapatkan dukungan dari dua lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF, sehingga pada tahun 1968 Indonesia mengalami beberapa kali surplus, tumbuhnya Pendapatan Domestik Bruto (PDB) 5% per tahun. Strategi ekonomi berorientasi keluar ini memang memberikan keuntungan bagi stabilisasi ekonomi Indonesia dimasa krisis. Dan sejak itu, Bank Dunia telah mengaskan para ahli pertanian, transportasi, industri, kependudukan dan berbagai bidang lainnya di Indonesia, sehingga saran dibentuknya REPELITA pun datang dari para konsultan Bank Dunia . Ketika terjadi defisit pun, bantuan asing dapat mengimbanginya dengan peningkatan pendapatan ekspor. Tetapi bila dilihat secara mendalam, apakah keberhasilan strategi ini merata, ternyata hanya menyentuh kalangan-kalangan pejabat negara juga pengusaha asing, termasuk Cina. Negara tidak lagi mengedepankan nasionalisme yang membimbing pengusaha pribumi agar bangkit, tetapi lebih memperburuk masyarakat bisnis pribumi yan umumnya memiliki modal kecil dan usaha kecil menengah. Prinsip efisiensi yang dengungkan mendepak pengusaha pribumi karena dianggap tidak mampu mengembangkan usahanya dan bersaing dengan perusahaan raksasa yang diberi banyak insentif dari pemerintah. Menurut Robinson, kalangan pejabat negara banyak berkoalisi dengan pengusaha Cina dalam membangun usaha atas nama pribadi tetapi menggunakan berbagai fasilitas yang disediakan pemerintah untuk memperoleh kemudahan. Kedekatan hubungan ini digunakan oleh para pengusaha asing untuk mempengaruhi politik suatu negara.
Urbanisasi secara besar-besaran dari desa ke kota menambah jumlah pengangguran dan semi pengangguran karena tidak diimbangi dengan perluasan lapangan kerja di kota. Perusahaan besar asing banyak menggunakan tenaga kerja ahli yang di ‘impor’ dari negara mereka sendiri. Prinsip efisiensi lagi-lagi mengakibatkan pemecatan banyak pegawai. Sampai akhirnya, Adam Malik, pada tahun 1967, mengakui bahwa kebijaksanaan ekonomi pemerintah telah gagal, dan diperkuat oleh pernyataan Jendral Soeharto : “Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa tindakannya untuk sementara telag memukul sektor produksi dan mengakibatkan resesi.”
Bila meruntut kabinet pemerintahan Indonesia, strategi perekonomian yang dikembangkan oleh pemimpin setelah orde lama adalah strategi orientasi ke luar. Bukti-bukti yang memuat tata cara perekonomian pasca krisis tahun 1966, jika diaplikasikan dengan kondisi perekenomian Indonesia sekarang tentu masih sangatlah relevan. Para petinggi keuangan negara bahkan orang nomor dua hirarki kepresidenan memiliki prinsip efisiensi. Sebagai contoh adalah kasus Century yang mengucurkan dana bail-out sebesar 6,7 triliun rupiah pada bank yang namanya bahkan tidak populer dan track record yang cukup buruk. Alasan berdampak sistemik yang berulang kali di katakan oleh mantan menteri keuangan adalah bentuk efisiensi yang dilakukan negara, dengan alasan bahwa ketika bail-out tidak dikucurkan maka Indonesia akan kolaps sama seperti tahun 1998. Penyebab masih relevannya strategi perekonomian yang berorientasi keluar ini disebabkan oleh para teknokrat yang merasa diuntungkan dalam strategi ini bahkan dapat disebut sebagai anak didik dari lembaga keuangan terbesar dunia seperti World Bank dan IMF. Pemberian gelar “menteri berprestasi” yang di berikan oleh World Bank pada Sri Mulyani tentu perlu dipertanyakan kembali, apakah prestasi tersebut berhasil mengentas penderitaan rakyat atau hanya penyelamatan bank yang dikatakan membawa dampak sistemik.
Yang terlihat sangat jelas adalah bahwa selama jangka waktu dari tahun 1966- sekarag ini pun, kebijakan ekonomi pemerintah masih didominasi oleh strategi ekonomi berorientasi ke luar. Perimbangan politik dalam negeri, situasi internasional yang suram, dan sifat aliansi kekuasaan yang dominan, mendorong pemerintah untuk menetapkan hal tersebut. Pengandalan terhadap investasi dan modal-modal asing memang menyebabkan kemajuan industri dan pertumbuhan kecil di sebagian masyarakat, tetapi pertumbuhan tersebut tidak diiringi oleh kemandirian dan kematangan ekonomi, tetapi lebih merupakan pada pertumbuhan dalam ketergantungan (associated-dependent development).
Jumlah Kata : 1900

Referensi :
Mas’oed, Mohtar. 1989 . “Stabilisasi dan Pembangunan Ekonomi yang Berorientasi Keluar”
dalam Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta:LP3S, hal 59-126