Kamis, 05 Agustus 2010

FEMINISME

Feminisme : Gerakan Perempuan dalam Dunia Internasional

Sering kali kita melihat, posisi perempuan dipandang sebelah mata dalam segala aspek kehidupan. Tetapi, sebenarnya seorang pria yang sukses, tidaklah lepas dari seseorang wanita yang mendampinginya. Feminisme dalam ilmu Hubungan Internasional diidentikan dengan perempuan, yang membahas topik kesetaraan seksual dan hak-hak perempuan. Anggapan dangkal tersebut, tidak mencerminkan luasnya pemikiran kelompok yang termajinalkan. Ujung pangkal pemikiran feminis ini adalah usaha mereka dalam mengkontruksi pengetahuan tentang dunia adalah keseharian dan pengalaman-pengalaman perempuan. Seperti cara-cara bagaimana perempuan mengalami bentuk penguasaan atau otoritas, jaminan keamanan yang mempriotaskan hal-hal yang paling ditakuti perempuan (Llyod&Pettiford,2009:321).
Perdebatan teoritis Hubungan Internasional sangat terbuka dengan pemikiran-pemikiran baru di akhir 1980-an. Pemikiran feminis kovensional membagi feminisme dalam paham liberal, marxis, dan radikal (kritis dan posmodernis) (Llyod&Pettiford,2009:326). Pengertian modernisme tentang kemajuan masyarakat manusia, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, mendorong seorang liberalis Elizabeth Stanton (1815-1902) berpendapat bahwa ‘ilmu sosial’ menunjukkan status perempuan merupakan salah satu ukuran kemajuan dan peradaban masyarakat. Stanton berpendapat bahwa posisi perempuan tidak diatur oleh Tuhan dan ditentukan oleh alam. Dalam perspektif liberal, mereka memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam ruang publik merupakan suatu kunci utama dalam usaha meningkatkan status perempuan. Jadi, baik perempuan maupun laki-laki adalah makhluk rasional yang mempunyai hak partisipasi dalam kehidupan politik (Llyod&Pettiford,2009:327).
Dari perspektif marxis, kesenjangan terhadap perempuan disebabkan oleh hak yang berakar dari pandangan tentang sifat asli manusia yang individualistik dan anti-sosial. Kepercayaan terhadap realigi tradisional, tidak mengakhiri kesenjangan tersebut, terlebih membentuk suatu subordinasi sosial baru yang dikarenakan kapitalisme. Feminis marxis, mengembangkan suatu analisis mengenai hubungan marxis antara kapitalisme dan pembagian tenaga kerja berdasar jenis kelamin. Argumen mereka menjelaskan bahwa kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi sosial menciptakan suatu pembagian yang nyata antara ruang publik di dunia kerja dan ruang privat di rumah. Hal ini yang memunculkan perbedaan antara ‘kerja’ dan ‘produksi’ sehingga pekerjaan perempuan menjadi diremehkan. Pekerjaan perempuan dikontruksikan sebagai sesuatu yang dikerjakan sebagai suatu kesenangan meskipun hal tesebut berat – a labour of love – (Llyod&Pettiford,2009:329). Dalam wilayah rumah yang privat ini, realitas terhadap idealisasi perempuan mengaburkan hubungan kekuasaan dan kesenjangan yang terdapat dalam publik. Berdasar dari wilayah privat tersebut, privatisasi perempuan kerap dilakukan bagi pengeksploitasian tenaga mereka. Penekanan dari eksploitatif inilah feminis marxis menyimpulkan bahwa perempuan memiliki kepentingan yang sama (Llyod&Pettiford,2009:331).
Berangkat dari pembagian antara privat dan publik, feminis radikal membahasnya lebih dalam. Berasal dari sesuatu yang personal –privat- sangatlah politis. Bagi feminis radikal, kehidupan konvensional yang ditandai dengan partikularisme dan cinta, merupakan suatu bentuk subordinasi atau dominasi. Maka dari itu, suatu kebebasan manusia didapat dengan merubah ruang-ruang yang paling pribadi dalam hubungan manusia. Kaum ini mengembangkan suatu konsep patriarki untuk menjelaskan penginstitusionalisasian dominasi laki-laki terhadap perempuan tidak hanya berasal dari identitas dan seksualitas, tetapi hubungan tersebut ditentukan oleh keberadaan lembaga-lembaga dan praktik sosial (Llyod&Pettiford,2009:333). Feminis kritis menekankan kedalam sifat dasar lembaga dan praktik sosial yang patriartikal, sekaligus mengkritisi feminis liberal dan marxis dalam mendorong perempuan untuk meniru laki-laki atau hal yang menjadi ‘nilai laki-laki’ (Llyod&Pettiford,2009:334).
Kaum feminis posmodernis sedikit berbeda dengan konsep sebelumnya. Bagi mereka sangatlah salah menyalahkan budaya keterbelakangan. Perempuan tidak dianggap sebagai korban dari penindasan. Perempuan bukan berarti bukan tanpa kekuasaan, tetapi seiring dengan peran-peran tradisional yang dimilikinya, pengaruh dan kekuasaan perempuan dapat dimaksimalkan. Untuk mencapai suatu tingkat kekuasaan terhadap kehidupan mereka sendiri dan memengaruhi orang lain, perempuan dapat menggunakan seluruh sumber daya yang tersedia (Llyod&Pettifor,2009:337). Pengalaman yang dimiliki perempuan dapat mengkontruksikan suatu pemahaman tentang dunia sosial dan politik, ketimbang pemahaman tentang perbedaan tradisional melalui bahasa, simbol, dan cerita yang dijalin (Llyod&Pettiford,2009:338).
Berasal dari asumsi-asumsi pemikiran feminis yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa kaum feminis menganggap bahwa sifat dasar manusia sebagai sesuatu yang dinamis, karena ada hubungan erat antara teori-teori tentang dunia dengan kebiasaan kita. Perspektif ini membuat suatu perbedaan yang jelas antara ‘fakta’ dan ‘nilai’. Serta komitmen mereka pada ide kemajuan sosial dan kebebasan, emansipasi, kaum perempuan (Llyod&Pettiford,2009:339).
Komitmen bersama dalam gerakan emansipasi politik memperjuangkan posisi perempuan dalam dunia sosial dan politik terlihat di awal 1960-an, ketika Amy Swerdlow menunjukkan aktivitas Demonstrasi Wanita bagi Perdamaian (WSF) menunjukkan ketidak puasan mereka terhadap keputusan Kennedy dalam perjanjian pengendalian nuklir Soviet (Swerdlow 1990 dalam Jackson&Sorensen,2005:325). Politik emansipasi feminis berbeda-beda, dari pandangan feminis kritis, dalam mengemansipasi perempuan, maka diperlukan suatu perubahan mendasar dari lembaga dan praktik sosial yang patriarkis, feminis konvensional mendorong agar perempuan meniru ‘nilai laki-laki’, dan feminis posmodernis menganggap suatu emansipasi perempuan berawal ketika mereka mampu memaksimalkan ‘kekuasaan tradisional’ yang dimilikinya dengan menggunakan sumber daya yang dimilikinya. Keberhasilan emanispasi politik terlihat dengan adanya Decade for Women (1975), agensi-agensi pembangunan PBB memasukkan seksi-seksi yang secara khusus ditugaskan untuk meningkatkan posisi perempuan dalam pembangunan – Women in Development -, juga mengangkat isu tentang persamaan jenis kelamin dan diskriminasi terhadap perempuan (Llyod&Pettiford,2009:335).
Pembangunan perempuan dan penyuaraan terhadap persamaan gender, semakin menambah pluralitas aktor dalam Hubungan Internasional. Perspektif yang lahir di era 1980-an, tidak begitu memfokuskan aktor terhadap negara, tetapi lebih dari “dalam” suatu negara tersebut digerakkan. Adanya unsur feminisme dalam aktor Hubungan Internasional, dapat mengubah suatu sikap politik yang selama ini identik dengan maskulin dan rasionalitas, sekaligus menambah ragam dari aktor-aktor Hubungan Internasional, yang tidak hanya negara, pemimpin negara yang ‘maskulin’, tetapi juga melihat sosok lain dibalik kemaskulinitas yang mempengaruhi suatu kebijakan.
Pemikiran feminis tentang perdamaian kebanyakan berasal dari feminis radikal. Menurut sejarah, ada hubungan antara perdamaian dan perempuan. Contohnya adalah pergerakan suffragette perempuan di Inggris, yang berpendapat bahwa naluri keibuan membuat mereka berbeda dengan laki-laki, kedamaian perempuan merupakan bukti dari superiotas moral daripada inferioritas. Ide ini terdengar melalui ‘feminisme moral’ 1980 – 1990-an yang menyuarakan inklusi perempuan ke dalam elit-elit pemereintahan, karena adanya perempuan akan mempengaruhi kebijakan luar negeri semua negara. Perdamaian di mata kaum feminis menekankan keterhubungan manusia, dialog, dan kerja sama atas dominasi dan konfrontasi kekerasan (Llyod&Pettiford,2009:365) . Robert Keohane, seorang feminis HI, optimis terhadap kerja sama lateral antara entitas yang terorganisir, negara dan sebaliknya, karena posisi perempuan lebih terkenal dalam politik dunia (Keohane 1989b, dalam Jackson&Sorensen,2005:336). Tetapi sebagian lain pesimis, karena prospek aliansi tersebut dapat menimbulkan subordinasi gender menurut prioritasnya sendiri (Zalewski 1993, dalam Jackson&Sorensen,2005:336).
Referensi :
Sorensen, Georg dan Robert Jackson.2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional: Posmodernisme.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Steans, Jill and Llyod Pettiford. 2009. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema. Jakarta, Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar