Kamis, 05 Agustus 2010

POSMODERN | perspektif HI

Postmodernisme


Posmodernisme berangkat dari sub teori kritis, sama seperti kontruktivisme. Berawal dari para kelompok filosof Perancis –terutama Michael Foucault - sejak awal 1980-an pasca perang menentang filsafat eksistensialisme, posmodernisme digolongkan sebagai teori sosial. Para kaum posmodern lebih sering disebut dengan teori dekontruksi atau post-strukturalisme (Burchill,2005:166). Teoritisi terkemuka posmodernisme dalam Hubungan Internasional adalah Richard Ashley. Karena masih termasuk dalam teori kritis, tujuan dari adanya posmodernisme ini adalah mengeluarkan para ilmuwan dari penjara konseptualnya, sehingga mereka dapat berpikir bahwa adanya modernisasi menyebabkan kemajuan dan kehidupan yang lebih baik bagi semuanya. Llyotard (1984) mengungkapkan bahwa posmodernisme dijelaskan sebagai ketidakpercayaan menuju metanaratif. Metanaratif adalah pemikiran seperti neo-realisme dan neo-liberalisme yang menyatakan telah menemukan kebenaran tentang dunia sosial (Jackson&Sorensen,2005:303).
Dari perspektif posmodern, studi tentang perpolitikan dunia lebih sering dipakai daripada Hubungan Internasional. Hal ini disebabkan karena studi ini menggabungkan studi tentang serangkaian besar proses, isu, dan kelompok. Studi ini juga memfokuskan pada cara penerapan kekuasaan dalam wacana dan praktik-praktik perpolitikan dunia. Posmodernisme memetakan berbagai ragam cara pengkontruksian dan penggunaan ruang politik oleh individu dan kelompok, menguraikan proses-proses yang kompleks dalam pengkontruksian identitas politik, juga mengakui perbedaan dan keberagaman di antara beragam orang dan lintas budaya; mendorong penyebarluasan berbagai pendekatan dan pandangan dunia karena hal ini akan berakibat penggantian atau pelemahan bentuk-bentuk pengetahuan yang ortodoks dan kekuasaan yang hegemonik; juga menyoroti isu-isu atau masalah yang sering kali dianggap remeh guna mengekspresikan individu atau kelompok yang telah di marjinalkan dalam Hubungan Internasional (Llyod&Pettiford,2009:268).
Posmodernis berusaha untuk menelusuri dan menafsirkan peristiwa-peristiwa, sesuai dengan gagasan ide tentang arah maupun pola umum dari sejarah. Foucault menggunakan sebuah metode yang disebut dengan ‘genealogi’ untuk menelusuri jejak ketidak terhubungan dan keterputusan sejarah guna menekankan singularitas peristiwa-peristiwa, bukan menjelaskan kecenderungan sejarah (Llyod&Pettiford,2009:282). Dengan menggunakan konsep tersebut, maka posmodernisme melihat bahwa suatu pengetahuan dan kekuasaan tidak terpisahkan, sehingga sejarah yang selama ini dituliskan merupakan suatu bentuk dominasi atau politisasi pengetahuan (Burchill,2005:162).
Yang menjadi sasaran utama posmoderinis adalah genealogi neorealisme. Asumsi neo-realis yang masih negara-sentris juga fokus pada perang sebagai instrumen kepentingan nasional dalam sistem internasional yang anarki. Kritik kaum posmodernisme terhadap genealogi neo-realisme ditekankan pada bias kaum strukturalis menyangkut teori dan pengaruhnya terhadap realisme. Struktur anarki sistem internasional menghadapkan aktor-aktor individual sebagai realitas material yang given yang tidak dapat diubah; adaptasi hanyalah pilihan mereka (Ashley 1986:289, dalam Jackson&Sorensen,2005:304). Dengan penjelasan historis tentang sistem internasional tersebut, maka aktor-aktor yang ada didalamnya dipaksa untuk menjadi objek yang harus berpartisipasi dalam struktur yang anarki (Ashley 1986, dalam Jackson&Sorensen,2005:305). Yang kedua adalah genealogi neo-realis yang menganggap bahwa teori miliknya adalah suatu “fakta”, tetapi menurut posmodernisme tidak ada landasan yang mengakibatkan suatu ilmu sosial bersifat netral, adanya landasan historis, budaya, dan politis yang menyebabkan ilmu tersebut menjadi bias (Jackson&Sorensen,2005:304).
Der Derian (1989) menngungkapkan bahwa posmodernisme berkaitan dengan upaya untuk menunjukkan ‘saling pengaruh tekstual dibalik kekuasaan politik’, terutama terhadap efek tekstualitas di antara kekuasaan politik, namun secara intrinsik berada didalamnya. Tekstualitas merupakan tema umum posmodern, dan berasal dari definisi ulang Derrida mengenai ‘teks’ dalam Of Grammatology. Derrida tidak membatasi teks atas literatur atau gagasan, seperti yang disalah artikan sejumlah orang. Ia mengibaratkan dunia seperti sebuah teks, dan seseorang merujuk pada suatu yang nyata tersebut kecuali dengan pengetahuan interpretatif. Posmodernisme secara tegas menganggap bahwa interpretasi sangat diperlukan dna fundamental dalam pembentukan dunia sosial. Textual interplay merujuk pada hubungan yang saling membentuk dan menambah antara interpretasi yang berbeda mengenai representasi dan susunan dunia, maka dari itu diperlukan strategi dekontruksi dan pembacaan ganda (Burchill,2005:253). Foucault menyatakan bahwa masyarakat menghasilkan kebenaran mereka sendiri yang mempunyai fungsi-fungsi normalisasi dan pengaturan (Llyod&Pettiford,2009:284). Kebenaran yang diciptakan suatu masyarakat dapat berasal dari interpretasi suatu masyarakat terhadap suatu ‘teks’ , pengetahuan, atau ideologi, sehingga suatu keadaan sosial dilihat dari banyak segi (multi-facet). Dengan begitu, dalam bahasannya tentang Hubungan Internasional, posmodernisme tidak memberikan suatu kepastian tentang apa Hubungan Internasional tersebut. Tetapi berasal dari ‘teks’ yang sudah ada, individu dapat menginterpretasikan bagaimana Hubungan Internasional tersebut menurut pendapatnya.
Strategi yang sering digunakan posmodern adalah dekontruksi, sehingga kaum posmodernis adalah kaum dekontruktivis. Dekontruktivisme mengandung oposisi biner, dimana konsep baru lahir dari konsep itu sendiri (Burchill,2005:177). Derrida mengatakan suatu konsep bersifat struktural parasit dan terkontaminasi, sehingga konsep tersebut tidak bersifat netral (Burchill,2005:169). Posmodernisme mendekontruksikan suatu bentuk diplomasi dalam hubungannya dengan negara. Terminologi negara yang merupakan suatu state-craft- suatu seni yang menjalankan dan mengatur urusan pemerintahan-, yang mengacu pada statesmanship dalam tinjauan kebijakan luar negeri, urusan dengan pengusaha asing, juga kemampuan dalam memerintah. Kegiatan diplomasi yang diwarnai dengan pidato politik, pembentukan kebijakan luar negeri, dan praktik diplomasi oleh para elit politik adalah merupakan proses state-craft yang dinamis dalam pembentukan suatu identitas negara. Sehingga para posmodernis lebih menganggap negara sebagai suatu performance elit politik dalam hubungan diplomatik dengan badan berdaulat lainnya (Llyod&Pettiford,2005:293).
Karena bersifat dekontruktivis, maka posmodernisme dapat digolongkan menjadi anti-positivisme. Posmodernisme menentang epistomologi suatu teori yang bersifat universal. Mereka menganggap suatu wacana atau ideologi tidaklah bersifat netral dan bias. Posmodernisme sedikit lebih ‘terbuka’ terhadap pengetahuan, karena suatu wacana merupakan bentuk interpretasi individu, sehingga posmodernisme dikenal dengan nihilisme yang menolak adanya landasan-landasan dalam ilmu sosial. Selain itu, positivisme yang dicirikan sebagai neo-realis membatasi imajinasi masyarakat terhadap suatu fenomena sosial, karena penekanan mereka pada pengulangan dan kesinambungan (Walker 1995, dalam Jackson&Sorensen,2005:305). Anti-positivis memberi suatu analisis skeptis terhadap suatu preposisi umum yang mampu mengeluarkan masyarakat dalam pemikiran konvensional, bahwa segala sesuatu adalah given dan terus berulang.
Ontologi (objektifisme) merupakan objek atau sasaran yang ingin dicapai oleh suatu teori. Isu ontologi hirau pada realitas objektif (Jackson&Sorensen,2005:314). Ontologi posmodernisme menolak bahwa dunia adalah suatu realitas objektit; ia adalah kontruksi bedasarkan bahasa, pemikiran dan konsep. Bagi posmodernisme, realitas adalah suatu ciptaan subjektif masyarakat, sehingga pernyataan bahwa adanya interpretasi terhadap dunia sosial politik adalah masuk akal. Tetapi sifat nihilisme –tidak ada titik akhir yang jelas- yang ada pada posmodernisme, membuat perspektif ini tidak memiliki landasan-landasan aksiologis, sehingga posmodernisme berisfat eksklusif dan dapat menjadi terasing dari dunia sosial politik (Jackson&Sorensen,2005:306).

Referensi :
Burchill, Scott et al, 2005. “Theory of International Relations : Postmodernism. 3rd edition”. New York : Plagave Camillan.
Sorensen, Georg dan Robert Jackson.2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional: Posmodernisme.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Steans, Jill and Llyod Pettiford. 2009. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema. Jakarta, Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar