Kamis, 05 Agustus 2010

Strategi Pembangunan Ekonomi Indonesia

Chriscahyanti Sofi Yustisia 070912025

Disamping kegiatan politik dan penegakan hukum suatu negara, perekonomian merupakan salah satu aspek vital yang terus mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Berbagai cara diusahakan oleh pemerintah untuk mendapatkan situasi ekonomi dalam keadaan ekuilibrium, sehingga stabilitas pemerintahan dapat terjaga. Sepanjang sejarah Indonesia, ada dua strategi yang digunakan untuk menjaga keseimbangan ekonomi Indonesia, dan kedua strategi ini sangat bertentangan dan digunakan dalam rezim yang berbeda pula. Rezim orde lama yang dipimpin oleh Soekarno yang dikenal dengan aliran komunisnya yang sangat kental, membentuk suatu strategi pembangunan ekonomi ‘berorientasi ke dalam’, sementara rezim Suharto, era Orde Baru, memiliki suatu pandangan yang lebih modern dibanding dengan pemimpin sebelumnya, sehingga strategi pembangunan ekonomi yang diterapkan ‘berorientasi ke luar’. Kedua strategi tersebut, pernah diterapkan di Indonesia, dengan tujuan awal untuk menyejahterakan rakyat. Tetapi, pembangunan ekonomi ‘berorientasi ke dalam’ seolah mati, dibanding dengan pembangunan ekonomi ‘berorientasi keluar’ yang lebih banyak digalakkan oleh pemimpin-pemimpin Indonesia setelah rezim Soekarno runtuh.
Menilik dari sejarah, awal mula pembentukan strategi pembangunan ekonomi berorientasi keluar ini adalah sistem ekonomi sosialis versi Soekarno –Sosialisme ala Indonesia- yang menekankan perubahan radikal dan tidak adanya campur tangan pihak asing dan juga modalnya dalam perekonomian Indonesia gagal diterapkan, sehingga menyebabkan krisis ekonomi yang sangat parah dan juga kekecewaan rakyat. Gagalnya sistem radikal yang dianut oleh Soekarno terlihat ketika cadangan devisa pemerintah pada April 1966 merosot sampai angkat delapan juta dolar Amerika, sedangkan Indonesia membutuhkan pasokan beras dan biaya untuk mengimpor beras di perkirakan seratus juta dolar Amerika . Pemimpin Indonesia memang dihadapkan pada situasi yang sulit, dimana dengan tujuan untuk menjaga stabilisasi negara dan mengatasi krisis yang sangat mencekik saat itu, pilihan strategi ‘berorientasi ke dalam’ dengan cara menggunakan bantuan pihak asing secara hati-hati, memperkuat masyarakat bisnis pribumi, mengubah secara perlahan manufactur dan pentingnya posisi pemerintah dalam pasar dan perusahaan swasta, memakan waktu yang lama untuk mencapai titik ekuilibrium, sehingga strategi ‘berorientasi ke luar’ dengan stempel (shock-treatment approach), membutuhkan bantuan asing dalam penyelesaiannya dan membiarkan pasar berjalan sesuai mekanismenya yang berkembang, dirasakan lebih menjanjikan karena memakan waktu yang cukup cepat dibanding strategi ekonomi yang pertama.
Melihat situasi tersebut pemimpin Orde Baru memilih menggunakan strategi yang memungkinkan perusahaan-perusahaan swasta memainkan peran aktif dalam pasar bebas sehingga pemanfaatan modal asing dapat dimaksimalkan. Dalam proses penerapan kebijakan ekonomi ini diperlukan perombakan secara struktural dibanding dengan kegiatan perekonomian yang dijalankan sebelumnya. Para petinggi negara melakukan berbagai upaya untuk meyakinkan para negara kreditor agar mau bekerja sama untuk memberikan ‘dana bantuan’ pada Indonesia dengan suku bunga yang rendah. Hal ini memang bukan suatu hal yang mudah, dikarenakan oleh sikap Soekarno yang sebelumnya ‘menendang’ para negara kreditor terbesar tersebut keluar dari Indonesia, sehingga mereka sangat berhati-hati dalam pemberian hutang kepada Indonesia. Melihat sikap para negara keditor Barat dan Jepang yang masih dingin, Indonesia bekerja sama dengan IMF (International Moneter Funds) untuk mengeluarkan ‘semacam tanda layak kredit’ sebagai cara memperoleh simpati dari negara kreditor. IMF menempatkan seorang wakil tetapnya dan menugaskannya di Bank Indonesia untuk mengadakan konsultasi harian dengan pejabat bank itu dan pejabat Departemen Keuangan tentang strategi stabilisasi ekonomi. Kerja sama Indonesia dan IMF ini merupakan kerja sama yang didasari oleh adanya kepentingan yang sama dari pemimpin Indonesia waktu dan aktor-aktor eksternal, sekaligus sebagai titik awal hutang luar negeri Indonesia yang menumpuk dan berpuncak pada krisis ekonomi tahun 1998 tersebut.
Karena proses penyelesaiannya yang tergolong cepat, strategi ekonomi ‘berorientasi ke luar’ ini banyak disetujui oleh para teknokrat. Defisit anggaran pemerintah yang selalu meningkat dan ekspansi kredit bank secara cepat di tahun 1966 harus diselesaikan pemerintah dengan cara mencari kredit baru yang tidak komersial. Namun permasalahan ekonomi tidak hanya sampai disitu saja, pemerintah juga harus memikirkan tentang pembangunan ekonomi jangka panjang, yang tidak bisa bergantung dari bantuan luar negeri, tetapi pemerintah harus menarik modal asing agar mau menanamkan modalnya sehingga geliat penetrasi modal asing di Indonesia meningkat, yang nantinya akan di integrasikan dalam sistem ekonomi dunia yang kapitalis. Para penasehat Soeharto yakin bahwa Indonesia harus kembali bergabung dengan masyarakat ekonomi politik internasional yang dilakukan dengan cara mengubah haluan politik luar negerinya. Usulan yang tercetus pada simposium 6-9 Mei 1966 di Universitas Indonesia mengarahkan pemecahan kesulitan ekonomi dalam negeri Indonesia dengan menghindari tindakan realistik yang berorientasi prestise seperti menjadi pemimpin NEFO (New Emerging Forces), penyelesaian konflik dengan Malaysia secara damai, dan masuk kembali dalam PBB serta berpartisipasi dalam lembaga-lembaga internasional lainnya.
Memulihkan kembali keadaan ekonomi yang hampir mati di Indonesia terus dilakukan dengan melakukan berbagai cara diplomasi ekonomi untuk meyakinkan negara-negara Barat, dengan menyuarakan bahwa rezim baru Indonesia telah berhasil menumpas komunis di negaranya sendiri tanpa bantuan Amerika, pembentukan lobby-lobby di Washington, normalisasi hubungan dengan Singapura dan pengusaha-pengusaha Cina, dan peninjauan kembali kebijakan luar negeri oleh menteri luar negeri, Adam Malik, yang isinya sama dengan simposium 6-9 Mei 1966. Tanggapan kreditor asing yang masih mengambang belum menunjukkan bukti dukungan terhadap Indonesia, bantuan yang Amerika kucurkan dianggap sebagai transaksi komersial yang harus di bayar kembali dengan dolar dan tingkat bunga 4,9 persen merupakan suatu pinjaman yang tinggi bagi pemerintah. Jepang juga membebani pinjaman yang lebih berat dengan tingkat bunga 5,5 persen dan dibayar dalam lima kali angsuran dengan masa tenggang empat tahun . Melihat hal itu, para pemimpin Orde Baru bersikap untuk bermain sesuai dengan aturan main yang ditetapkan oleh para kreditor, agar posisi Indonesia dalam list prioritas bantuan Amerika Serikat dipertimbangkan.
Sikap Amerika atas Indonesia yang ditunjukkan lewat duta besarnya Marshall Green dalam makalahnya yang berjudul ‘relaxed diplomacy’ memperlihatkan sikap yang sangat hati-hati dalam membuat janji dengan menteri luar negeri Indonesia yang bersikap agresif. Bukti konkret keseriusan Indonesia dalam mengemis bantuan pada Amerika terlihat setelah penandatanganan perjanjian damai dengan Malaysia 11 Agustus 1966, sekaligus sebagai tonggak kebangkitan kerja sama ekonomi bilateral Amerika – Indonesia, yang dibuktikan dengan pemberian hibah yang mencapai kurang lebih $ 40 juta di akhir 1966 . Setelah melunaknya sikap kreditor terbesar, Amerika, melunak peraturan ekonomi 3 Oktober 1966 merupakan tonggak sejarah liberalisasi ekonomi Indonesia, dan diperluas pada tanggal 10 Februari 1967 dan 28 Juli 1967, yang memuat tata cara baru pengelolaan ekonomi Indonesia yang baru. Peraturan tersebut mencakup tindakan-tindakan berikut:
1. Menyeimbangkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) melalui pemotongan belanja.
2. Peningkatan pendapatan dengan meningkatkan pajak dan mengurangi defisit dengan cara menghapuskan subsidi untuk semua perusahaan baik swasta maupun negara, agar perusahaan tersebut menjalankan usahanya lebih rasional dan efisien, yang mengakibatkan pada kenaikan harga pelayanan umum yang meningkat tajam.
3. Pembaruan moneter dengan memperketat kredit dengan peningkatan sukubunga secara tajam.
4. Pemerintah akan memberikan keistimewaan pajak kepada penanam modal asing seperti pembebasan bea masuk terhadap barang-barang konsumsi yang dibutuhkan pengurangan pajak-pajak ekspor, penyerdehanaan prosedur ekspor-impor, dan memperbolehkan eksportir dan importir menangani dokumen mereka sendiri dengan keistimewaan yang diberikan agar mereka mau menanamkan modalnya di Indonesia.
5. Pengembalian perusahaan-perusahaan asing yang diambil oleh rezim sebelumnya, dan diberikan insentif yang sama dengan perusahaan asing yang baru didirikan
6. Pemberian kembali sebagian devisa pada eksportir dalam bentuk sertifikat Bonus Ekspor, yang dapat dijual di pasar devisa bebas dan digunakan para importir untuk mengimpor berbagai mata dagagan yang diizinkan pemerintah.
7. Meninggalkan “ekonomi komando”, pemerintah membiarkan kekuatan pasar bergerak untuk membuat keputusan ekonomi.
Poin-poin dari peraturan diatas merupakan bentuk implementasi dari shock-treatment yang disarankan oleh IMF untuk strategi stabilisasi ekonomi Indonesia dan efektif diterapkan dalam jangka pendek. Disamping proses stabilisasi, pemerintah dapat merehabilitasi infrastruktur vital penggerak roda ekonomi.
Keberhasilan dari strategi ini adalah Indonesia mendapatkan dukungan dari dua lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF, sehingga pada tahun 1968 Indonesia mengalami beberapa kali surplus, tumbuhnya Pendapatan Domestik Bruto (PDB) 5% per tahun. Strategi ekonomi berorientasi keluar ini memang memberikan keuntungan bagi stabilisasi ekonomi Indonesia dimasa krisis. Dan sejak itu, Bank Dunia telah mengaskan para ahli pertanian, transportasi, industri, kependudukan dan berbagai bidang lainnya di Indonesia, sehingga saran dibentuknya REPELITA pun datang dari para konsultan Bank Dunia . Ketika terjadi defisit pun, bantuan asing dapat mengimbanginya dengan peningkatan pendapatan ekspor. Tetapi bila dilihat secara mendalam, apakah keberhasilan strategi ini merata, ternyata hanya menyentuh kalangan-kalangan pejabat negara juga pengusaha asing, termasuk Cina. Negara tidak lagi mengedepankan nasionalisme yang membimbing pengusaha pribumi agar bangkit, tetapi lebih memperburuk masyarakat bisnis pribumi yan umumnya memiliki modal kecil dan usaha kecil menengah. Prinsip efisiensi yang dengungkan mendepak pengusaha pribumi karena dianggap tidak mampu mengembangkan usahanya dan bersaing dengan perusahaan raksasa yang diberi banyak insentif dari pemerintah. Menurut Robinson, kalangan pejabat negara banyak berkoalisi dengan pengusaha Cina dalam membangun usaha atas nama pribadi tetapi menggunakan berbagai fasilitas yang disediakan pemerintah untuk memperoleh kemudahan. Kedekatan hubungan ini digunakan oleh para pengusaha asing untuk mempengaruhi politik suatu negara.
Urbanisasi secara besar-besaran dari desa ke kota menambah jumlah pengangguran dan semi pengangguran karena tidak diimbangi dengan perluasan lapangan kerja di kota. Perusahaan besar asing banyak menggunakan tenaga kerja ahli yang di ‘impor’ dari negara mereka sendiri. Prinsip efisiensi lagi-lagi mengakibatkan pemecatan banyak pegawai. Sampai akhirnya, Adam Malik, pada tahun 1967, mengakui bahwa kebijaksanaan ekonomi pemerintah telah gagal, dan diperkuat oleh pernyataan Jendral Soeharto : “Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa tindakannya untuk sementara telag memukul sektor produksi dan mengakibatkan resesi.”
Bila meruntut kabinet pemerintahan Indonesia, strategi perekonomian yang dikembangkan oleh pemimpin setelah orde lama adalah strategi orientasi ke luar. Bukti-bukti yang memuat tata cara perekonomian pasca krisis tahun 1966, jika diaplikasikan dengan kondisi perekenomian Indonesia sekarang tentu masih sangatlah relevan. Para petinggi keuangan negara bahkan orang nomor dua hirarki kepresidenan memiliki prinsip efisiensi. Sebagai contoh adalah kasus Century yang mengucurkan dana bail-out sebesar 6,7 triliun rupiah pada bank yang namanya bahkan tidak populer dan track record yang cukup buruk. Alasan berdampak sistemik yang berulang kali di katakan oleh mantan menteri keuangan adalah bentuk efisiensi yang dilakukan negara, dengan alasan bahwa ketika bail-out tidak dikucurkan maka Indonesia akan kolaps sama seperti tahun 1998. Penyebab masih relevannya strategi perekonomian yang berorientasi keluar ini disebabkan oleh para teknokrat yang merasa diuntungkan dalam strategi ini bahkan dapat disebut sebagai anak didik dari lembaga keuangan terbesar dunia seperti World Bank dan IMF. Pemberian gelar “menteri berprestasi” yang di berikan oleh World Bank pada Sri Mulyani tentu perlu dipertanyakan kembali, apakah prestasi tersebut berhasil mengentas penderitaan rakyat atau hanya penyelamatan bank yang dikatakan membawa dampak sistemik.
Yang terlihat sangat jelas adalah bahwa selama jangka waktu dari tahun 1966- sekarag ini pun, kebijakan ekonomi pemerintah masih didominasi oleh strategi ekonomi berorientasi ke luar. Perimbangan politik dalam negeri, situasi internasional yang suram, dan sifat aliansi kekuasaan yang dominan, mendorong pemerintah untuk menetapkan hal tersebut. Pengandalan terhadap investasi dan modal-modal asing memang menyebabkan kemajuan industri dan pertumbuhan kecil di sebagian masyarakat, tetapi pertumbuhan tersebut tidak diiringi oleh kemandirian dan kematangan ekonomi, tetapi lebih merupakan pada pertumbuhan dalam ketergantungan (associated-dependent development).
Jumlah Kata : 1900

Referensi :
Mas’oed, Mohtar. 1989 . “Stabilisasi dan Pembangunan Ekonomi yang Berorientasi Keluar”
dalam Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta:LP3S, hal 59-126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar