Selasa, 02 Agustus 2011

Guerrilla War

Jika menginginkan suatu keadaan damai, maka harus mempersiapkan perang. Namun, Hart mengemukakan bahwa ada kesalahan dalam pengulangan metode perang pada kondisi perang terakhir yang sebenarnya banyak berubah. Pasca Perang Dunia II, ketika perang merupakan aksi yang terorganisir munculnya kekuatan nuklir dijadikan bentuk strategi pencegahan, penggunaanya hanya akan menghasilkan chaos bukan perang ( Liddel Hart,1991 :361). Untuk itu diperlukan pengertiang bentuk-bentuk perang baik itu gerilya maupun perang subversif. Di abad ini perang gerilya menjadi fitur penting dalam konflik dibanding penerimaan teori militer Barat, meskipun aksi senjata oleh pasukan non-regular masih sering terjadi. Clausewitz dalam karyanya yang berjudul On War yang menyepakati beberapa bentuk pertahanan, seperti adanya kelompok bersenjata untuk mengukur pertahanan melawan musuh sebagai kondisi dasar kesuksesan dan keterbatasan dalam perang gerilya. Contoh yang paling mencolok dalam aksi gerilya terlihat dalam ketahanan rakyat Spanyol dalam menghadang tentara Napoleon yang membawa istilah dalam penggunaan militer (Liddel Hart,1991:362).
Lawrence dalam Seven Pillars of Wisdom mengemukakan bahwa teori gerilya memfokuskan pada nilai ofensif sebagai produk kombinasi refleksi dan pengalaman. Contoh bentuk aksi gerilya pada Perang Dunia I yang memiliki pengaruh penting terjadi di Timur Tengah dengan pemberontakan Arab terhadap Turki, dimana keduanya mengusahakan kemerdekaan dan bentuk kampanye Sekutu dalam melawan Turki. Dalam Perang Dunia II perang gerilya menyebar cepat – di Eropa digunakan Jerman dan di Asia digunakan Jepang - dan menjadi fitur perang universal. Perkembangannya dapat diamati dari kesan Lawrence terhadap kebijakan Churchil untuk memanfaatkan perang gerilya sebagai bentuk counter-weapon setelah Jerman menyerbu Perancis pada 1940. Bentuk perang gerilya yang semakin berkembang dan berkepanjangan dibawa oleh komunisme China tahun 1920 dibawah pimpinan Mao Tse-Tung dengan memanfaatkan kesempatan ketika Jepang menginvasi daratan China dibawah pimpinan nasionalis Chiang Kai Shek yang saat itu sedang berkonflik dengan Kanton untuk menghapus elemen komunis pada tentara revolusi nasionalnya. Gerilyawan komunis Mao banyak membantu tentara Jepang dari serangan tentara Chiang Kai sek, sekaligus menyebarkan pengaruhnya pada masyarakat China sehingga berselang empat tahun Mao berhasil mengambil alih kekuasaan di China (Liddel Hart,1991:363).
Perkembangan gerilya dan perang subversif semakin intesif dengan adanya nuklir terutama datang dari adanya bom hidrogen ditahun 1954 juga keputusan pemerintahan Amerika pada masa Nixon dan Einshower, dalam mengadopsi kebijakan dan strategi pembalasan besar-besaran (massive retaliation) sebagai pencegah agresi. Penggunaan nuklir dalam mengubah bentuk strategi gerilya saat itu mustahil, karena kebijakan yang dibut tidak memberikan dampak apapun namun berbalik memberikan efek natural menstimulasi agresi karena senjata nuklir bukanlah pembanding yang seimbang. Hart menyarankan bahwa dalam mengembangan metode terbaru, maka diperlukan pengenalan metode konvensional (Liddel Hart,1991:363). Strategi sekarang ini dikembangakan oleh lawan yang diinspirasi oleh dual ide penghindaran kekuatan udara superior, karena akan memberikan efek bom yang lebih besar yang dapat menjadi bentuk gerilya baru. Penulis menginginkan adanya re-orientasi dalam kebijakan militer yang memiliki implikasi yang lamban untuk dikembangkan tetapi meningkat cepat saat pemerintahan presiden Kennedy tahun 1961 dengan saling bekerja sama dengan aliansi, orientasi mengenai penggunaan non-nuklir, dan perang non-konvensional sebagai bentuk anti-gerilya yang digunakan oleh rezim Komunis saat itu. Kalimat ‘forewarned is forearmed’ lebih cocok teraplikasi untuk perang subversif dan gerilya dibanding perang biasa karena basis persiapan dan pengetahuan terhadap situasi (Liddel Hart,1991:365).
Perang gerilya bersifat dinamis dan diharuskan untuk mengatur momentum. Adanya interval statis dianggap lebih merugikan karena mampu memberi lawan kesempatan untuk memperkuat pasukannya juga bertambahnya populasi pasukan untuk membantu strategi gerilya tersebut. Gerilya memang dilakukan oleh beberapa orang diawal, namun tetap bergantung pada banyak orang diakhir. Pertahanan statis dan tetap bukan merupakan bagian dari aksi gerilya, kecuali berada pada situasi terjebak (ambushed). Aksi gerilya berkebalikan dengan praktik peperangan normal yang secara strategi menghindari berbagai bentuk pertempuran, istilah ‘hit and run’ lebih komprehensif diterapkan dalam strategi gerilya. Komponen lain yang dijelaskan untuk membantu keberhasilan strategi ini adalah keberagaman kudeta kecil namun dapat mengakumulasikan kehancuran, keributan, dan demoralisasi diantara populasi. ‘Tip and run’ merupakan langkah yang paling baik untuk mengisi tujuan ofensif dalam memikat lawan kedalam penyergapan ( Liddel Hart,1991:365). Prinsip lain dalam perang gerilya adalah konsentrasi yang dapat dilakukan dengan fluiditas kekuatan dan penyebaran untuk mencapai keberhasilan. Penulis menyatakan bahwa perbandingan kekuatan merupakan faktor dasar yang juga dipengaruhi oleh kondisi alam suatu negara, informasi, dan psikologikal politis dalam membantu usaha gerilya (Liddel Hart,1991:366).
Mulanya, perang gerilya merupakan senjata dari sisi lemah yang defensif, tetapi pada era atom lebih banyak berkembang sebagai bentuk agresi yang cocok untuk memanfaatkan ‘kematian nuklir’ karena konsep strategi pada perang dingin dianggap tidak relevan untuk sekarang yang lebih cenderung pada perang kamuflase. Kritik yang diberikan Liddel Hart kepada militer barat yang lebih menyukai massive retaliation dianggap tidak bisa belajar dari sejarah untuk menemukan strategi pembanding peperangan jenis ini. Strategi gerilya juga memainkan peranan grand strategy seperti kebijakan-kebijakan untuk menstimulasi adanya pemberontakan didaerah lawan. Penulis melihat bahwa strategi militer barat yang tergolong frontal dalam menyerang merupakan bentuk pengulangan strategi lama. Menurutnya, gerilya dapat membalas lawan dengan lebih halus karena kegiatan berperang lebih disamarkan oleh pergerakan pembanding ofensif dengan jenis yang sama. Oleh karena itu dalam merancang dan menentukan strategi dimasa depan harus lebih bijak dalam merumuskan kebijakan dan membutuhkan pemahaman masa lalu yang lebih matang. Masa keemasan perang gerilya digunakan oleh Mao untuk mengambil alih kekuasaan di daratan China, karena perang gerilya tidak terfokus pada hal militer saja, namun juga pada sisi kebijakan yang dibuat yang kebanyakan terfokus pada rakyat, karena esensi dari gerilya itu adalah revolusi yang berawal dari pemberontakan. Keberhasilan gerilya itu sendiri berada pada kerjasama, simpati, dan bantuan dari rakyat itu sendiri. Banyak nilai Clausewitzian yang menurut saya ada pada tipe perang gerilya ini seperti keterkaitan perang dengan suatu kebijakan (grand strategy) juga implikasinya kepada rakyat, dimana perang itu bukanlah suatu kegiatan yang tanpa tujuan.

Internet dan Strategi

Dalam artikelnya yang berjudul Strategy and the Internet, Michael E. Porter mengemukakan bahwa internet merupakan teknologi terbaru yang penting dan mendapat banyak perhatian bagi para enterpreneur, investor dan pengamat bisnis. Banyak orang yang berpendapat bahwa internet telah mengubah aturan-aturan lama mengenai perusahaan dan kompetisi yang usang. Suatu reaksi yang natural ketika internet dianggap membahayakan karena dapat mengikis keuntungan dan ketertarikan terhadap industri mereka. Seperti contoh, beberapa perusahaan menggunakan teknologi internet untuk menggantikan kualitas dasar kompetisi, fitur, layanan dan harga masa depan menjadi lebih susah bagi tiap orang untuk mengambil keuntungan dalam industrinya. Penulis mengajak meninggalkan retorika tentang industri internet, strategi e-bussiness dan ekonomi baru untuk melihat fungsi internet sebagai enabling technology¬ – seperangkat alat yang kuat- yang dapat digunakan secara bijak dan sebaliknya. Penggunaan internet hampir digunakan di semua industri dan menjadi salah satu strategi yang ada. Namun, keberadaan internet tidak selamanya menjadi berkah karena dapat mengubah struktur industri dengan cara melambatkan perolehan keuntungan secara keseluruhan, dampak yang betingkat dalam praktek bisnis, mengurangi kemampuan perusahaan dalam membentuk keuntungan operasional yang seharusnya bisa dipertahankan .
Porter mengemukakan adanya optimisme dalam penggunaan internet sebagai strategi. Hal ini dikarenakan internet mendukung kesempatan yang lebih baik bagi perusahaan untuk membentuk hal-hal yang berbeda (distinctive) dalam posisi strategisnya dibandingkan teknologi yang ada sebelumnya. Perolehan keuntungan kompetitif dengan internet dapat ditingkatkan tanpa harus menggunakan pendekatan baru yang radikal Dua hal tersebut membuktikan internet sebagai strategi yang efektif . Banyak perusahaan yang menggunakan internet sebagai komplementer cara-cara tradisional – operasi dengan tidak menggunakan internet- dalam berkompetisi. Penggabungan dua cara tersebut merupakan kunci kesuksesan suatu perusahaan sekaligus menunjang keuntungan sebelumnya. Oleh sebab itu, keberadaan internet membuat arti strategi jauh lebih penting .
Teknologi baru memicu banyaknya eksperimen oleh perusahaan dan pelanggan, dimana eksperimen tersebut tidak mendukung secara ekonomis karena mampu mendistorsi sinyal pasar. Hal ini disebabkan oleh luasnya jangkauan yang ditawarkan oleh internet, sehingga pelanggan memiliki banyak pilihan. Dalam menganalisa pengaruh internet dalam pembentukan nilai ekonomis diperlukan dua faktor sinyal pasar yang mempengaruhi keuntungan; struktur industri dan pertahanan keuntungan kompetitif . Dalam struktur industri penggunaan internet memperluas geografi pasar dan membawa suatu perusahaan untuk berkompetisi dengan perusahaan lain. Dalam hal rivalitas, perusahaan akan mereduksi perbedaan diantara kompetitornya untuk mempertahankan hak milik dan juga persaingan harga yang terjangkau. Berkaitan dengan pelanggan, internet tentu memudahkan costumers untuk mencari informasi suatu produk dengan mudah sehingga pasar yang ada menjadi lebih lebar dengan pilihan yang lebih banyak. Efek negatifnya adalah internet memberikan barang subtitusi dan memudahkan masuknya kompetitor baru yang menjadi ancaman bagi suatu perusahaan, namun positifnya internet dapat memperluas pasar perusahaan dengan mudah . Ketika suatu perusahaan mampu menjadi first mover dengan inovasi baru yang dimilikinya, penggunaan internet sebagai strategi tentu dapat memudahkan perusahaan tersebut dalam memperoleh pasar baru dan memenangkan kompetisi. Ketika kompetisi diantara perusahaan semakin menguat untuk menguasai pasar, strategi internet mengartikan suatu rivalitas menjadi partner dengan cara menjadi perusahaan komplementer atau outsourcing. Menjadi komplemen perusahaan lain dengan produknya yang dihasilkan menyebabkan peingkatan industri lebih stabil. Namun keuntungan yang diperoleh tidak berhubungan antar perusahaan. Hubungan seperti ini menjadi tidak stabil ketika perusahaan komplemen tersebut dianggap sebagai kompetitor potensial. Kedua adalah outsourcing, teknologi internet memudahkan perusahaan untuk koordinasi dengan pemasok dan memberikan gagasan yang luas bagi perusahaan virtual .
Hubungan internet dalam mempertahankan keuntungan kompetitif ketika suatu perusahaan beroperasi pada biaya yang lebih rendah dengan harga yang premium. Keuntungan biaya dan harga dapat dilakukan dengan dua cara, yang pertama operational effectiveness dengan melakukan hal yang sama dengan kompetitor namun harus lebih baik atau lebih terdepan dari kompetitor. Konsekuensinya cara pertama, kompetitor akan meniru hal tersebut ketika kita berada pada level yang lebih tinggi. Cara kedua adalah dengan strategic positioning, yaitu berkompetisi dengan cara yang berbeda. Ini lebih susah dibanding cara pertama karena memerlukan enam prinsip fundamental. Pertama harus diawali dengan tujuan jangka panjang yang tepat; dalam tujuan tersebut harus mengaktifkan penyampaian nilai-nilai proposisi seperti seperangkat keuntungan yang berbeda dengan kompetitor. Ketiga, strategi harus di refleksikan dalam distinctive value chain – seperangkat aktifitas penyaluran barang dan jasa ke pelanggan -. Keempat, pelibatan trade off. Kelima keselarasan strategi dengan elemen-elemen dalam perusahaan dan terkahir, strategi tersebut melibatkan kelanjutan tujuan .
Kesimpulan :
Disini penulis menunjukkan bahwa kehadiran internet banyak mempengaruhi strategi perusahaan dalam kompetisi pasar. Kehadiran internet ini tidak benar-benar baru dalam bentuk strategi, hanya ‘pengemasannya’ yang berbeda dengan jangkauan yang lebih luas. Namun, tidak selamanya penggunaan internet sebagai strategi menjadi berkah bagi pengusaha-pengusaha, karena dampaknya yang mampu mendistorsi pasar, mempermudah masuknya kompetitor baru bahkan keuntungan yang dihasilkan lebih sedikit. Saya setuju dengan penulis ketika penggunaan internet sebagai strategi hanya sebagai komplementer dari strategi-strategi yang ada sebelumnya. Ketika pada strategi klasik rivalitas yang ada cenderung implisit, berhati-hati dan tertutup. Pertukaran informasi dan selera pasar yang dapat diketahui melalui internet memberikan arti baru rivalitas menjadi partnership yang komplementer yang berpengaruh pada struktur industri dan pertahanan keuntungan kompetitif. Strategi manajemen dengan menggunakan internet memiliki dua sisi yang menurut penulis bergantung pada kemampuan handling perusahaan terhadap pasar. Ketika suatu perusahaan menggunakan media internet, maka ia harus mampu mengatasi kompetitor baru dengan cakupan tidak lagi regional namun internasional. Oleh sebab itu, penulis mengemukakan bahwa kesuksesan suatu perusahaan ketika mampu mengintegrasikan nilai-nilai strategi konvensional dengan strategi modern – dengan internet - yang lebih virtual. Strategi modern dalam artikel Porter menawarkan cara-cara yang distinctive dalam penguasaan pasar atau dengan cara mendekati lawan dan mengikuti cara yang sama namun selangkah lebih maju dibanding kompetitor. Namun suatu hal yang ironis, ketika realita industri sekarang ini tidak banyak diwarnai oleh langkah-langkah berani pengusaha, namun mereka lebih banyak meniru cara-cara yang sudah dilakukan kompetitornya untuk menstabilkan dunia industri yang sudah ada.

Revolusi Libya 2011 sebagai bentuk Geopolitik

Libya merupakan di kawasan Afrika Utara dengan ibu kota Tripoli pernah menjadi jajahan Kaisar Ottoman Turki hingga akhirnya berhasil di rebut Italia dan mencapai kemerdekaannya pada tahun 1951 . Sebelum di pimpin oleh Gaddafi, Libya di pimpin oleh Raja Idris al-Sanusi. Di tahun 1959, Libya mulai melakukan eksplorasi minyak untuk kemakmuran negara. Libya merupakan negara yang kaya akan minyak di Afrika Utara namun sayang pengelolaan di sektor ini masih belum berkembang optimal. Tahun 1956-1961 Libya membuka kerjasama pertambangan minyak dan pipa gas di Laut Mediterania dengan AS. Minyak dan gas merupakan komoditas ekonomi utama Libya mereformasi perekonomian untuk memenuhi oposisi politiknya . Pada tahun 1969, terjadi kudeta dari pimpinan militer Kolonel Gadaffi atas pemerintahan Raja Idris. Pengambil alihan kekuasaan oleh Gadaffi dianggap berbeda dengan revolusi yang ada di negara sekitarnya. Adanya revolusi ini di inspirasi oleh pemimpin nasionalis Mesir, Gamal Abdul Naser yang mendominasi perpolitikan Arab di tahun 1950-1960an. Sistem baru Jamahiriya, yang di jalankan Gaddafi disebut sebagai state of the masses meletakkan power oleh beberapa masyarakat. Namun dalam prakteknya Gaddafi mendapatkan perlawanan. Inilah yang menjadi penyebab pecahnya revolusi di Libya. Kelompok anti-Gadaffi melakukan demonstrasi yang berujung pada intensifikasi kekerasan, sehingga pemerintah Libya menggunakan langkah militer untuk melawan kelompok anti-Gadaffi yang merupakan kelompok militan Islam.
Revolusi yang sebenarnya terjadi di Libya merupakan kontinuitas revolusi yang pertama kali terjadi di Tunisia untuk menggulingkan Ben Ali di lanjutkan di Mesir dengan perlawanan melawan rezim Mubarak, hingga revolusi yang ada di Libya, Bahrain dan Yaman. Revolusi ‘domino’ ini menginginkan adanya pergantian rezim dengan sistem pemerintahan yang lebih demokratis. Model pemerintahan yang dijalankan Gadaffi selama kurang lebih 40 tahun merupakan pemerintahan yang ditaktor dan tanpa konstitusi. Praktek nepotisme kental dalam pemerintahan Gadaffi, pimpinan militer Libya dan pasukan khusus istana merupakan keluarga Gadaffi. Dalam mempertahankan status quo, Gadaffi meletakkan orang-orang yang berasal dari keluarganya di sektor militer. Ia paham betul bahwa militer merupakan kelompok yang paling kuat dalam melakukan kudeta, seperti yang dilakukannya ketika pemerintahan Raja Idris. Kekuatan rezim Gadaffi juga diperkuat dengan kekayaan minyak yang ada di Libya. Sehingga, Gadaffi memiliki power yang kuat tidak hanya dalam lingkup domestik namun juga internasional karena banyak negara memasok minyak dari Libya selain dari Timur Tengah. Bentuk kuatnya rezim Gadaffi ini ditunjukkan dengan tidak adanya partai politik, kelompok oposisi, media dan masyarakat sipil yang kuat untuk menentang pemerintahan ini.
Kecenderungan politik di Arab, penguasaan birokrasi pemerintahan dibangun atas pertalian kelompok loyalis yang mendukung segala kebijakan pemimpin. Di Libya, Gadaffi memiliki kabilah Qadhafa, mayoritas berpusat di Tripoli dan Sarte, yang menjadi pelindung kekuatan rezimnya di dunia internasional. Produksi minyak Libya yang mencapai 4,5 juta barrel per hari menjadi salah satu arena geopolitik Libya. Banyak perusahaan asing melakukan eksplorasi minyak di kawasan ini seperti, British Petroleum, Exxon, Total, Occidental Petroleum, Marathon Oil dan Oil and Amerada Hess. Ekspor minyak Libya ke Eropa dan Asia juga merupakan faktor handling yang dilakukan oleh Gadaffi terhadap pemimpin internasional. Selain minyak, Gadaffi juga melakukan nasionalisasi seluruh industri yang ada di Libya untuk mencegah dalamnya intervensi asing dalam pemerintahannya. Militer yang merupakan pertahanan negara berada pada pihak Gadaffi sehingga penggulingan rezim Gadaffi akan lebih sulit, karena Gadaffi banyak mempunyai ‘kartu-kartu penting’ untuk mempertahankan kekuasaannya.
Minyak merupakan faktor penting bagi-bagi negara barat. Stabilitas harga minyak dan distribusi yang terus berjalan ini memaksa negara Eropa dan Amerika turun tangan dalam revolusi yang terjadi. Intervensi asing ini terlihat melalui hadirnya NATO dengan penyerbuan pertama melalui udara dilakukan oleh Perancis dibawah perintah Nicolas Sarkozy. Kondisi yang terjadi di Libya terbelah menjadi dua kubu, yaitu tentara Gadaffi dan tentara pemberontak, kelompok anti-pemerintah dan kelompok pro-Gadaffi, juga keberadaan NATO untuk membantu penggulingan rezim Gadaffi. Melihat revolusi yang terus berlangsung dengan gencatan senjata yang terus dilakukan mendatangkan banyak kecaman dari dunia internasional dan menyebut Gadaffi sebagai penjahat perang. Ia terus melakukan pendudukan ke wilayah kelompok revolusioner. Peran PBB dalam hal ini dikeluarkannya putusan untuk melakukan semua langkah yang diperlukan untuk melindungi warga sipil dan pusat-pusat penduduk yang dapat menjadi serangan rezim Gadaffi . Situasi Libya semakin buruk dengan semakin bertambahnya jumlah warga sipil yang tewas. Hal ini menjadi suatu hal kontra produktif sehingga negara besar harus melaksanakan resolusi PBB tersebut, negara terdekat seperti Turki yang pada awalnya menentang resolusi tersebut akhirnya mendukung pelaksanaan putusan.

Kesimpulan dan Opini :
Gerakan revolusioner yang terjadi di Libya 2011 ini dapat dinamakan sebagai “arab spring” yang mereferensikan bangkitnya negara-negara di Arab dari tahun 1848, sehingga revolusi yang terjadi bukan bentukan dari pihak eksternal tetapi keinginan rakyat. Tindakan ini memberikan efek domino karena berlanjut dari satu negara ke negara lain. Tahun 2010 lalu terjadi revolusi di Tunisia, Mesir, lalu Libya hingga Suriah dan Yaman. Faktor utama terjadinya pemberontakan adalah keinginan adanya pergantian rezim yang berkuasa karena gaya kepemimpinannya yang ditaktor tanpa memperhatikan peran rakyat dalam pemerintaha. Selain itu, era globalisasi yang membawa nilai-nilai kebebasan dalam demokrasi juga mendorong faktor utama revolusi. Yang terjadi di Libya, nepotisme dan korupsi yang dilakukan oleh rezim Gadaffi menyebabkan minimnya kesejahteraan rakyat dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi. Kondisi seperti itu mendorong gerakan dari kaum muda yang lebih banyak menggunakan media sosial seperti internet untuk meruntuhkan Gadaffi. Tetapi media tersebut di tutup oleh rezim berkuasa. Demokrasi yang diinginkan rakyat murni berasal dari internal rakyat itu sendiri. Kehadiran aktor eksternal ini disebabkan oleh kekejaman rezim Gadaffi dengan menggunakan militer untuk mempertahankan kekuasaannya. Isu-isu humanitarian yang dibawa oleh NATO dan tentara AS melegalkan pengamanan terhadap warga sipil di Libya. Dibalik itu, negara barat juga berkepentingan untuk menjaga minyak yang ada di Libya agar tidak berdampak signifikan pada peningkatan harga minyak dunia akibat revolusi. Yang perlu diperhatikan nantinya adalah kondisi pasca revolusi dimana rakyat Libya dihadapkan pada dua hal, dimana intervensi asing dalam pemerintahan baru pasti terlihat untuk melindungi kepentingan negara besar di Libya. Proses ini tentu memakan waktu lama seperti yang terjadi di Irak. Pilihan kedua adalah kelanjutan dari rezim Gadaffi sekarang ini. Peran Liga Arab sebagai negara terdekat dengan beberapa kesamaan politik yang dimiliki diharapkan dapat lebih aktif melakukan intervensi dibanding negara besar.

Geopolitik

Geopolitik mencoba menjelaskan bahwa beberapa negara memilki kekuatan dan yang lain tidak. Geopolitik berasal dari dua kata geo yang diartikan bumi dan politik yang diartikan sebagai upaya pencapaian kekuasaan. Memahami geopolitik berarti melihat dari sudut pandang ruang dan waktu yang geosentrik dimana konsep teritorial terdiferensiasi menjadi fungsi wilayah, interaksi antar wilayah dan ruang lingkup serta aktor-aktornya. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah yang mencakup lokasi, luas dan sumber daya yang ada di dalamnya. Perbedaan yang dimiliki tiap-tiap negara baik dari segi kekuatan, ekonomi dan sumber daya menyebabkan negara terus berusaha untuk memaksimalkan penguasaan, dimana geografis negara sekitarnya memiliki pengaruh yang besar.
Ada beberapa ilmuwan yang mengartikan konsep geopolitik. Yang pertama adalah Halford J. Mackinder, seorang ahli geografis Inggris. Mackinder melihat geopolitik dunia dibagi menjadi 3 region politik yaitu, outer crescent, inner crescent, dan pivot area. Outer cresent meliputi kawasan Amerika, Afrika dan Oceania, inner crescent merupakan wilayah Eropa dan Asia Selatan, sedangkan pivot area yang sering disebut juga sebagai heartland terletak di benua Eurasia. Mackinder mengasumsikan heartland sebagai kekuatan besar dunia yang merujuk ke Eropa Timur. Siapapun yang menguasai heartland maka akan mampu mengontrol dunia . Implementasi dari konsep geopolitik Mackinder ini terlihat dengan perilaku ekspansionis Jerman di Eropa Timur. Selain Jerman, negara yang berpotensi menguasai wilayah heartland yaitu Cina dan Rusia. Kelemahan dari teori Mackinder ini yang pertama adalah terlalu land-cenctric kedua, penolakan terhadap pentingnya organisasi dalam pengembangan kekuatan. Ketiga, tidak dibahasnya revolusi kekuatan udara di abad ke-20 dan meremehkan pentingnya kekuatan Amerika . Ilmuwan kedua adalah Karl Haushofer yang merupakan geografer militer Jerman. Geopolitik Haushofer ini berkembang lewat Nazi Adolf Hitler di Jerman dan ajaran Hako Ichiu di Jepang, juga dengan adanya pakta Nazi-Soviet tahun 1939 juga merupakan pemikiran Haushofer . Pokok pemikiran Haushofer adalah kekuasaan imperium daratan dapat berimplikasi pada penguasaan laut. Kedua, negara besar yang berpotensi menguasai Eropa, Afrika, Asia Barat, serta Jepang dan Asia Timur Raya. Ketiga, geopolitik merupakan landasan tindakan politik dalam memperjuangkan kelangsungan hidup untuk mendapatkan wilayah.
Ilmuwan ketiga adalah Nicholas J. Spykman merupakan salah satu ahli geostategi dan geopolitik dari Amerika Serikat di era awal abad ke 20.Pemikiran Spykman merupakan kelanjutan pemikiran Mackinder, seperti pemikirannnya tentang pemisahan dunia menjadi tiga regional yaitu Heartland, Rimland ( pada pemikiran Mackinder disebut inner crescent) dan Offshore Islands & Continents (pada Mackinder disebut outer crescent). Yang berbeda adalah sanggahan akan kekuatan Jepang, Perancis dan Amerika yang mampu mengimbangi kekuatan Cina, Jerman dan Rusia. Keempat adalah Alfred T. Mahan yang memfokuskan pada kekuatan maritim, yang terinspirasi dari kemenangan angkatan laut Inggris dalam perang Napoleon. Menurutnya, kekuatan laut dapat memfasilitasi perdagangan dan perdamaian. Negara dengan kekuatan laut yang hebat dapat memiliki lokasi relatif dengan koneksi dan akses lintas batas yang mudah seperti penguasaan di Terusan Panama dan Terusan Suez. Pemikiran Mahan, banyak diadopsi Amerika saat Perang Dunia I dan II. Dan yang terakhir adalah Alexander Seversky. Fokus Seversky terletak pada penguasaan udara merupakan aspek paling baik dibanding wilayah darat dan laut. Kekuatan udara dianggap memiliki fleksibilitas yang tinggi, jangkauan target lebih mudah dan dapat melumpuhkan kekuatan lawan dengan penghancuran yang masif. Konsep Seversky lebih tepat dikatakan sebagai bentuk strategi penguasaan wilayah yang dapat dibuktikan dalam kemenangan Jerman yang bertumpu pada Luftwaffe (kekuatan udara Jerman) yang berhasil mengalahkan Royal Navy di Norwegia.
Kesimpulan :
Geopolitik merupakan suatu konsep yang berhubungan dengan ruang, waktu dan tempat yang memiliki kaitan politik. Penguasaan akan ruang, tempat dan waktu ini dibagi menjadi beberapa teori dengan fokus yang berbeda-beda, seperti Mackinder di penguasaan darat, Mahan penguasaan laut, Seversky penguasaan udara. Adanya konsep penguasaan tersebut menyebabkan diferensiasi letak geografis negara, seperti negara pivot, inner cresent dan outer cresent. Geopolitik klasik masih sebatas penguasaan wilayah yang menyebabkan perilaku negara cenderung ekspansionis. Namun, di era kontemporer ini, konsep penguasaan tidak lagi terfokus pada wilayah dan kawasan saja, tetapi juga sumber daya alam seperti minyak, gas dan mineral juga aspek lain seperti ekonomi, budaya, dan nilai-nilai baru untuk mempermudah intervensi ke negara lain agar kepentingan nasional negara tercapai.

Geopolitik Timur Tengah

Geopolitik sangat lekat dengan masalah geografi, space, aktor-aktor internasional, negara dan politik negara. Dimana geopolitik merupakan studi mengenai pengaruh faktor-faktor geografis – iklim, demografi, posisi strategi- terhadap suatu kebijakan negara atau kebijakan luar negerinya. Politisasi keadaan geografis ini digunakan sebagai strategi untuk meningkatkan bargaining power negara di hadapan negara lain. Oleh sebab itu, konsep geopolitik berkaitan erat dengan negara yang memiliki power dan negara yang tidak memiliki power. Kawasan Timur Tengah terletak di sepanjang Asia Barat dan Afrika Utara juga di antara tiga benua, Asia, Afrika dan Eropa. Letaknya yang berada di perbatasan tersebut memberikan kemudahan akses yang strategis menuju negara-negara di tiga benua tersebut. Alfred Thayer Mahan (1902) mengemukakan istilah Timur Tengah ini untuk merujuk pada daerah di selatan Laut Hitam, dimana negara yang masuk dalam kawasan ini secara geografis adalah Bahrain, Siprus, Iran, Irak, Israel, Lebanon, Kuwait, Yordania, Oman, Qatar, Arab Saudi, Siria, Turki, Uni Emirat Arab, Yaman dan Mesir . Secara identitas budaya, cakupan kawasan Timur Tengah diperluas hingga Algeria, Tunisia, Libya, Sudan, Pakistan dan Afghanistan. Timur Tengah memiliki tiga wilayah penting yaitu, Mesopotamia, Siria-Palestina dan Mesir, yang ketika dihubungkan akan membentuk bulan sabit .
Wilayah Mesopotamia memiliki saluran air yang tersambung dengan Sungai Efrat , juga memiliki dua sungai besar lain yaitu Sungai Nil dan Tigirs, sehingga pada jaman neolitikum peradaban bercocok tanam sudah dilakukan.Masyarakat kuno di kawasan ini mempunyai daerah pertanian yang subur yang memunculkan potensi perdagangan hasil tani. Selain peradaban bercocok tanam, seni sastra terlihat dengan ditemukannya huruf paku oleh bangsa Sumer . Berbeda dengan wilayah penting pertama di Timur Tengah, Siria-Palestina hanya memiliki dua sungai kecil, yaitu Yordan dan Orontes. Sunga ini dijadikan jembatan penghubung Mesir dan Mesopotamia – sering disebut Via Maris- sehingga bangsa besar menjadikan lokasi ini strategis bagi kepentingan ekonomi. Wilayah ketiga adalah Mesir yang memiliki peradaban maju secara cepat karena dipengaruhi letak Sungai Nil.
Kawasan Timur Tengah dipersatukan oleh sistem kekaisaran yang pertama kali bernama Persia. Kekaisaran Persia memerintah seluruh daerah di Timur Tengah hingga India dan Laut Tengah. Jatuhnya kekaisaran Persia menyebabkan budaya Yunani menyebar di beberapa negara di Timur Tengah, juga peninggalan Romawi ketika melakukan ekspansi ke kawasan ini dan masuknya Islam dengan cara penaklukan Arab dan Turki yang dilanjutkan dengan cara perorangan. Perluasan wilayah Timur Tengah setelah kekaisaran Persia dilakukan oleh Kerajaan Ottoman yang berada di Konstantinopel – Istanbul – hingga mencakup wilayah Afrika Utara dan Eropa.
Peradaban pertama yang berkembang pesat terjadi di Timur Tengah dengan kejayaan raja-rajanya, sumber daya alam yang dibutuhkan oleh negara dunia juga banyak terdapat di Timur Tengah. 65 % cadangan minyak dunia terletak di kawasan ini . Inilah yang menyebabkan posisi Timur Tengah di dunia internasional menjadi penting bagi negara lain. Tak jarang kepentingan asing berpengaruh bagi serangkaian konflik yang terjadi di Timur Tengah. Awal abad ke-20 negara Barat mulai melakukan eksplorasi minyak di kawasan ini dengan perusahaan-perusahaan minyaknya yang diawali oleh Inggris dengan British Iranian Oil yang bertahan hingga tahun 1951, sebelum nasionalisasi perusahaan tersebut oleh pemerintah Iran. Pasca Perang Dunia II, Amerika muncul sebagai kekuatan tunggal yang mengambil alih posisi Inggris di Timur Tengah. Hegemoni Amerika di sempat mengalami hambatan ketika krisis Minyak tahun 1973 dimana negara-negara Timur Tengah melakukan embargo minyak ke negara yang dianggap sebagai sekutu Israel. Embargo yang disebabkan oleh Perang Arab-Israel ini berdampak pada kenaikan harga minyak menjadi delapan kali lipat oleh negara anggota OPEC dan juga kolapsnya industri di negara konsumen minyak. Revolusi Iran tahun 1979, Perang Irak-Iran tahun 1980, Perang Teluk tahun 1991, hingga Invasi Amerika ke Irak yang dibawa melalui isu Weapon Mass Destruction juga memberikan dampak signifikan pada fluktuasi harga minyak dunia.
Semenjak ekspansi Zionisme oleh Yahudi, kawasan di Timur Tengah dapat dicirikan sebagai kawasan yang konfliktual. Berbagai isu, seperti WMD, terorisme, fundamentalisme dan nasionalisme, minyak, hingga perbatasan. Konflik-konflik tersebut memiliki keterkaitan dengan fluktuasi harga minyak dan pasokannya ke dunia yang mengancam kepentingan negara khususnya negara industrial juga berdampak pada anggaran belanja negara lain. Timur Tengah berada pada posisi strategis dengan cadangan minyak terbersar dunia sehingga juga menyebabkan kesejahteraan penduduk negara di Timur Tengah pada level yang tinggi kecuali di Mesir dan Yaman. Kebutuhan akan minyak yang terus meningkat sementara cadangan minyak yang terus berkurang akan memberikan kesempatan bagi negara kawasan Timur Tengah dalam menaikkan posisi tawarnya dana geopolitik global. Banyak kepentingan negara berada di kawasan ini dengan tujuan utama yaitu memastikan stabilitas minyak untuk kebutuhan mereka disamping eksplorasi energi alternatif untuk menggantikan penggunaan minyak di masa depan.

Kesimpulan dan Opini :
The cradle of civilization tepat ditujukan bagi kawasan ini karena peradaban pertama banyak di temukan di daerah ini. Secara geografis, Timur Tengah memiliki sumber daya nomer satu dunia yaitu minyak yang dapat digunakan sebagai tujuan politik negara untuk menaikkan posisis tawar internasionalnya. Pengelolaan minyak di kawasan ini tidak lepas dari pengaruh negara Barat dengan perusahaan kilang minyak dan tenaga ahli yang diletakkan disana untuk memastikan pasokan minyak bagi negara mereka. Secara geopolitik, kawasan ini memang sangat strategis secara geografis saja, namun juga kekayaan alam yang dimilikinya juga berpengaruh bagi strategi geoekonomi suatu negara. Seperti yang dijelaskan oleh Mackinder, Eurasia merupakan heartland, Timur Tengah berada di kawasan ini. Pembahasan tentang Timur Tengah memang sangat berkaitan dengan isu minyak dan kondisi Timur Tengah yang konfliktual. Minyak menjadi faktor utama mengapa Timur Tengah menarik bagi negara-negara besar banyak kerjasama yang dilakukan dalam bentuk penyediaan tenaga ahli eksplorasi minyak dan pendirian perusahaan kilang minyak. Banyak cara yang dilakukan negara besar khususnya AS untuk tetap mempertahankan pengaruhnya di kawasan ini melalui nilai-nilai globalisasi seperti liberalisme, demokrasi, juga perlawanan terhadap terorisme. Mereka juga akan campur tangan ketika terjadi konflik atau pemberontakan di kawasan ini. Usaha perdamaian lebih efektif ketika itu berasal dari negara sekawasan namun memiliki bargaining position tinggi di dunia internasional, seperti Arab Saudi. Karena konflik tersebut sangat berpengaruh pada harga minyak dunia yang dipastikan melonjak. Meskipun ada kawasan lain dengan cadangan minyak seperti Venezuela dan kawasan Afrika, kawasan Timur Tengah tetap menjadi primadona karena ada rezim minyak yang terlibat untuk mengontrol dan memfasilitasi kerjasama dalam OPEC.

Geopolitik Timur Tengah

Geopolitik sangat lekat dengan masalah geografi, space, aktor-aktor internasional, negara dan politik negara. Dimana geopolitik merupakan studi mengenai pengaruh faktor-faktor geografis – iklim, demografi, posisi strategi- terhadap suatu kebijakan negara atau kebijakan luar negerinya. Politisasi keadaan geografis ini digunakan sebagai strategi untuk meningkatkan bargaining power negara di hadapan negara lain. Oleh sebab itu, konsep geopolitik berkaitan erat dengan negara yang memiliki power dan negara yang tidak memiliki power. Kawasan Timur Tengah terletak di sepanjang Asia Barat dan Afrika Utara juga di antara tiga benua, Asia, Afrika dan Eropa. Letaknya yang berada di perbatasan tersebut memberikan kemudahan akses yang strategis menuju negara-negara di tiga benua tersebut. Alfred Thayer Mahan (1902) mengemukakan istilah Timur Tengah ini untuk merujuk pada daerah di selatan Laut Hitam, dimana negara yang masuk dalam kawasan ini secara geografis adalah Bahrain, Siprus, Iran, Irak, Israel, Lebanon, Kuwait, Yordania, Oman, Qatar, Arab Saudi, Siria, Turki, Uni Emirat Arab, Yaman dan Mesir . Secara identitas budaya, cakupan kawasan Timur Tengah diperluas hingga Algeria, Tunisia, Libya, Sudan, Pakistan dan Afghanistan. Timur Tengah memiliki tiga wilayah penting yaitu, Mesopotamia, Siria-Palestina dan Mesir, yang ketika dihubungkan akan membentuk bulan sabit .
Wilayah Mesopotamia memiliki saluran air yang tersambung dengan Sungai Efrat , juga memiliki dua sungai besar lain yaitu Sungai Nil dan Tigirs, sehingga pada jaman neolitikum peradaban bercocok tanam sudah dilakukan.Masyarakat kuno di kawasan ini mempunyai daerah pertanian yang subur yang memunculkan potensi perdagangan hasil tani. Selain peradaban bercocok tanam, seni sastra terlihat dengan ditemukannya huruf paku oleh bangsa Sumer . Berbeda dengan wilayah penting pertama di Timur Tengah, Siria-Palestina hanya memiliki dua sungai kecil, yaitu Yordan dan Orontes. Sunga ini dijadikan jembatan penghubung Mesir dan Mesopotamia – sering disebut Via Maris- sehingga bangsa besar menjadikan lokasi ini strategis bagi kepentingan ekonomi. Wilayah ketiga adalah Mesir yang memiliki peradaban maju secara cepat karena dipengaruhi letak Sungai Nil.
Kawasan Timur Tengah dipersatukan oleh sistem kekaisaran yang pertama kali bernama Persia. Kekaisaran Persia memerintah seluruh daerah di Timur Tengah hingga India dan Laut Tengah. Jatuhnya kekaisaran Persia menyebabkan budaya Yunani menyebar di beberapa negara di Timur Tengah, juga peninggalan Romawi ketika melakukan ekspansi ke kawasan ini dan masuknya Islam dengan cara penaklukan Arab dan Turki yang dilanjutkan dengan cara perorangan. Perluasan wilayah Timur Tengah setelah kekaisaran Persia dilakukan oleh Kerajaan Ottoman yang berada di Konstantinopel – Istanbul – hingga mencakup wilayah Afrika Utara dan Eropa.
Peradaban pertama yang berkembang pesat terjadi di Timur Tengah dengan kejayaan raja-rajanya, sumber daya alam yang dibutuhkan oleh negara dunia juga banyak terdapat di Timur Tengah. 65 % cadangan minyak dunia terletak di kawasan ini . Inilah yang menyebabkan posisi Timur Tengah di dunia internasional menjadi penting bagi negara lain. Tak jarang kepentingan asing berpengaruh bagi serangkaian konflik yang terjadi di Timur Tengah. Awal abad ke-20 negara Barat mulai melakukan eksplorasi minyak di kawasan ini dengan perusahaan-perusahaan minyaknya yang diawali oleh Inggris dengan British Iranian Oil yang bertahan hingga tahun 1951, sebelum nasionalisasi perusahaan tersebut oleh pemerintah Iran. Pasca Perang Dunia II, Amerika muncul sebagai kekuatan tunggal yang mengambil alih posisi Inggris di Timur Tengah. Hegemoni Amerika di sempat mengalami hambatan ketika krisis Minyak tahun 1973 dimana negara-negara Timur Tengah melakukan embargo minyak ke negara yang dianggap sebagai sekutu Israel. Embargo yang disebabkan oleh Perang Arab-Israel ini berdampak pada kenaikan harga minyak menjadi delapan kali lipat oleh negara anggota OPEC dan juga kolapsnya industri di negara konsumen minyak. Revolusi Iran tahun 1979, Perang Irak-Iran tahun 1980, Perang Teluk tahun 1991, hingga Invasi Amerika ke Irak yang dibawa melalui isu Weapon Mass Destruction juga memberikan dampak signifikan pada fluktuasi harga minyak dunia.
Semenjak ekspansi Zionisme oleh Yahudi, kawasan di Timur Tengah dapat dicirikan sebagai kawasan yang konfliktual. Berbagai isu, seperti WMD, terorisme, fundamentalisme dan nasionalisme, minyak, hingga perbatasan. Konflik-konflik tersebut memiliki keterkaitan dengan fluktuasi harga minyak dan pasokannya ke dunia yang mengancam kepentingan negara khususnya negara industrial juga berdampak pada anggaran belanja negara lain. Timur Tengah berada pada posisi strategis dengan cadangan minyak terbersar dunia sehingga juga menyebabkan kesejahteraan penduduk negara di Timur Tengah pada level yang tinggi kecuali di Mesir dan Yaman. Kebutuhan akan minyak yang terus meningkat sementara cadangan minyak yang terus berkurang akan memberikan kesempatan bagi negara kawasan Timur Tengah dalam menaikkan posisi tawarnya dana geopolitik global. Banyak kepentingan negara berada di kawasan ini dengan tujuan utama yaitu memastikan stabilitas minyak untuk kebutuhan mereka disamping eksplorasi energi alternatif untuk menggantikan penggunaan minyak di masa depan.

Kesimpulan dan Opini :
The cradle of civilization tepat ditujukan bagi kawasan ini karena peradaban pertama banyak di temukan di daerah ini. Secara geografis, Timur Tengah memiliki sumber daya nomer satu dunia yaitu minyak yang dapat digunakan sebagai tujuan politik negara untuk menaikkan posisis tawar internasionalnya. Pengelolaan minyak di kawasan ini tidak lepas dari pengaruh negara Barat dengan perusahaan kilang minyak dan tenaga ahli yang diletakkan disana untuk memastikan pasokan minyak bagi negara mereka. Secara geopolitik, kawasan ini memang sangat strategis secara geografis saja, namun juga kekayaan alam yang dimilikinya juga berpengaruh bagi strategi geoekonomi suatu negara. Seperti yang dijelaskan oleh Mackinder, Eurasia merupakan heartland, Timur Tengah berada di kawasan ini. Pembahasan tentang Timur Tengah memang sangat berkaitan dengan isu minyak dan kondisi Timur Tengah yang konfliktual. Minyak menjadi faktor utama mengapa Timur Tengah menarik bagi negara-negara besar banyak kerjasama yang dilakukan dalam bentuk penyediaan tenaga ahli eksplorasi minyak dan pendirian perusahaan kilang minyak. Banyak cara yang dilakukan negara besar khususnya AS untuk tetap mempertahankan pengaruhnya di kawasan ini melalui nilai-nilai globalisasi seperti liberalisme, demokrasi, juga perlawanan terhadap terorisme. Mereka juga akan campur tangan ketika terjadi konflik atau pemberontakan di kawasan ini. Usaha perdamaian lebih efektif ketika itu berasal dari negara sekawasan namun memiliki bargaining position tinggi di dunia internasional, seperti Arab Saudi. Karena konflik tersebut sangat berpengaruh pada harga minyak dunia yang dipastikan melonjak. Meskipun ada kawasan lain dengan cadangan minyak seperti Venezuela dan kawasan Afrika, kawasan Timur Tengah tetap menjadi primadona karena ada rezim minyak yang terlibat untuk mengontrol dan memfasilitasi kerjasama dalam OPEC.

Nationalism, “the hate of the other” Renan ?

Semenjak runtuhnya Uni Soviet pasca perang dingin menimbulkan dampak pada banyak terbentuknya nation-state baru. Dengan begitu akan memberi elemen bar dalam sejarah nasionalisme di abad ke dua puluh satu ini. Nationalisme dapat diartikan sebagai bentuk rasa kebersamaan akan kepemilikan suatu hal diantara masyarakat dengan tujuan mendeklarasikan dan mengatur kedaulatan politik (Barruel dalam Jusdanis,2001:18). Rasa nasionalisme juga mampu mengubah identitas etnis menjadi identitas politik. Inilah yang membawa kesebuah pertanyaan, apakah nasionalisme itu akan berujung pada adanya superioritas atau suatu hal yang berbeda. Nasionalisme dapat dibedakan menjadi “good nationalism” dan “bad nationalism”, nasionalisme baik merupakan nasionalisme yang mampu membentuk kesadaran akan identitas nasional, sementara nasionalisme yang buruk membawa kelompok nasionalis cenderung bersifat ethno nationalist dengan menolak hidup berdampingan dengan kelompok lain yang berbeda, seperti penghilangan salah satu etnis di Bosnia.
Superioritas merupakan eksklusivisme grup terhadap diri atau grup lain dengan menimbulkan nilai lebih dalam individu atau grup tersebut. Dalam nasionalisme seringkali ditunjukkan oleh adanya tendensi kekerasan terhadap individu atau kelompok bangsa lainnya, sehingga terlihat lebih radikal. Dalam kaiatannya menjadi kelompok yang superior, nasionalisme terlihat dengan dominasi terhadap bangsa atau kelompok masyarakat lainnya. Hal inilah yang nantinya akan memicu konflik serta munculnya gerakan separatis. Contohnya ada kelompok Moro di Filipina, Pattani di Thailand, atau OPM di Papua dengan alasan diskriminasi dari pemerintah. Tidak hanya dalam hal ideologi politik, dalam ranah ekonomi politik pun konsep superioritas dan nasionalisme pun ikut mempengaruhi bagaimana perilaku pasar domestik terhadap produk luar negeri.
Gerakan nasionalis yang berlebihan sering disamakan dengan fundamentalisme. Konsep keduanya ini berbeda, karena fundamentalisme merupakan bentuk pengamalan nilai-nilai dasar yang di yakini. Nilai-nilai fundamentalisme banyak dikaitkan dengan nilai-nilai agama, contohnya terlihat di negara Islam yang menggunakan nilai-nilai fundamental agama dengan tujuan memperluas batas-batas wilayah (Hobsbwam,1990:164). Selain agama, nilai fundamental yang masih relevan sekarang ini adalah ajaran Konfusius di China sebagai dasar berperilaku masyarakat China, bahkan sampai pada hubungan pemerintah dengan rakyatnya/ Fundamentalisme digunakan untuk mengatur batas untuk menarik hal yang sesuai dan mengasingkan yang lain untuk membatasinya (Hobsbwam,1990:176). Sehingga interaksinya dengan masyarakat terlihat lebih kaku, namun tidak semuanya bersifat memaksa atau kekerasan. Perbedaan antara nasionalis dan fundamentalis dapat dilihat sebagai berikut :
Fundamentalisme Nasionalisme
Akar Buku-buku keagamaan Revolusi Industri
Tujuan Membangun pemikiran internasional Penolakan akan sistem internasional

Namun tidak selamanya fundamentalisme dan nasionalisme itu bertolak belakang, karena menurut saya, para kaum nasionalis tentu memiliki dasar-dasar fundamental bersama sehingga mereka dapat bersatu. Contohnya adalah rela berkorban sebagai dasar fundamental para pahlawan Indonesia untuk memerdekakan Indonesia yang berujung pada tindakan patriotisme.
Jika fundamentalisme berkaitan dengan nilai keagamaan, maka juga relasi nasionalisme dengan tingkat religiusitas itu sendiri. Hubungan keduanya terlihat, ketika suatu negara mengadopsi nilai-nilai keagamaan dengan penggunaan agama sebagai basis ideologinya dan dimana agama digunakan pemerintah central (eksekutif) dan badan yuridisnya. Agama dipakai sebagai bentuk justifikasi akan diri sendiri yang mematuhi hukum Tuhan dan musuh sebagai inferior. Contoh negara yang ada seperi Arab Saudi, Jepang yang memasukkan unsur-unsur religi di tiap elemen “kebangsaan”. Hubungan nasionalisme dengan religiusitas memang jarang ditemui, namun ketika sekelompok orang menjadikan agama sebagai justifikasi tindakannya maka akan terbentuk suatu movement “bad nationalism” yang membawa fragmentasi suatu populasi. Yang paling terlihat sekarang ini adalah pembentukan Negara Indonesia Islam (NII) di Indonesia. Tindakan yang mereka lakukan memang tidak seperti kelompok militan yang secara jelas melakukan perlawanan –contoh: terorisme- namun kelompok religius ini masuk melalui gerakan bawah dan organisasi masyarakat dalam menyebarkan pengaruhnya. Dalam kaitannya dengan globalisasi, nasionalisme suatu terlihat semakin menonjol dibanding keberadaan negara yang dikaburkan dengan konsep deteritorialisasi. Hal inilah yang berujung pada seringnya konflik-konflik baik etnis maupun agama yang disebabkan karena kesadaran akan nilai-nilai bersama yang mereka percayai tinggi. Superioritas nasionalisme seolah membentuk klaim dalam menciptakan persatuan nasional sekaligus merubah pandangan masyarakat dan mengidentifikasi suatu komunitas, juga rasa national unity dalam wadah politik yaitu nation-state (Brubaker,2004). Globalisasi sekarang membawa suatu kondisi dimana klaim politis akan nation ini diperkuat dengan nilai-nilai agama, khususnya di negara yang sejak awal menggunakan agama sebagai hukum dan fundamen, karena globalisasi membawa nilai demokrasi dan sistem sekuler agama yang mulai di galakkan diberbagai negara.

Aplikasi Gerakan Anti-Kosmopolitanisme

Perubahan tatanan dunia baru merupakan wacana yang dibawa oleh ketiga perspektif yang berkaitan yaitu fundamentalisme, nasionalisme dan kosmopolitanisme. Meskipun contain yang mereka sebarkan itu sama yaitu dalam membentuk world order, dalam mengusung misi ini terimplementasi dalam bentuk yang berbeda dan tujuan yang berbeda. Beberapa kelompok fundamentalis seperti Ku Klux Klan di Amerika dan Al-Qaeda di wilayah Timur Tengah lebih memilih gerakan radikal dalam merubah tatanan dunia menjadi lebih mengacu pada nilai-nilai fundamental agama. Sedangkan world order yang diusung oleh kaum kosmopolit lebih mengacu pada adanya supranasionalisme atau beyond nationalism. Pandangan mereka tentang world order adalah untuk menggantikan tatanan dunia lama yang dianggap mereka tidak berpihak pada kelompoknya bahkan tidak adanya keadilan bagi mereka. Adil bagi fundamentalis adalah ketika kepentingan mereka menjadi yang utama dibanding kelompok lain. Dominasi kepentingan ini akan menjadi sebuah streotipe dalan tatanan dunia baru dan cara-cara mereka sebagai kelompok anti-kosmopolitanisme bergerak dalam aksinya untuk mencapai tujuan mereka.
Contoh yang pertama adalah kelompok Ku Klux Klan yang bergerak pada tataran fundamentalisme mereka. Kelompok ini sering memunculkan diri dalam pakaian serba putih yang di lengkapi dengan jubah putih bercorak salib merah dan topi putih memanjang ke atas. Keberadaan kelompok ini ada di AS yang mempercayai bahwa penduduk kuli putih memiliki superioritas yang tidak dapat disamakan dengan penduduk kulit hitam. Aksi mereka lekat dengan tindakan rasisme terhadap penduduk kulit hitam di AS. Cara-cara radikal yang digunakan terlihat dengan perusakan fasilitas umum bahkan membakar properti orang lain. Meskipun reduksi terhadap gerakan ini terlihat pasca Perang Dunia II, namun keberadaan Ku Klux Klan masih ada di AS dan beberapa negara kulit putih lainnya. Tujuan kelompok ini adalah untuk menyingkirkan kaum kulit hitam dalam aspek sosial masyarakat juga dalam pemerintahan mereka.
Contoh yang kedua adalah gerakan perjuangan Islam yang dikaitkan dengan kegiatan terorisme. Hizbut Tahrir, Jamaah Islamiyah dan Al-Qaeda merupakan musuh besar negara barat terutama AS dan sekutunya. Hizbut Tahrir misalnya merupakan kelompok masyarakat Islam yang bertujuan membentuk khilafah dunia. Sistem ini berlaku dalam dunia global tidak hanya pada tataran regional dan lokal. Khilafah disini mendasarkan semua aspek kehidupan baik itu hukum dan sosial pada ajaran Islam yang tercantum dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Berdirinya suatu khilafah aka dipimpin oleh khalifah yang berbeda dengan sistem presidensiil, perdana menteri dalam pemerintahan parlementer, atau raja dalam sistem kerajaan, juga pemimpin spiritual seperti Paus dan Ayatollah Khomeini. Disini seorang khalifah merangkap seluruh jabatan diatas menjadi satu dimana khalifah ini ditentukan oleh wakil rakyat yang menguasai ilmu dunia namun ilmu spiritual. Kelompok ini dalam gerakannya menekankan pada intelektualitas agen dimana lebih memilih forum diskusi dan gerakan non-anarkis. Negara khilafah ini di interpretasikan oleh beberapa akademisi internasional sebagai bentuk modern state atau modern Moeslem state.
Yang ketiga masih ada dalam lingkup Islam, namun gerakan yang dipilih berbeda dengan Hizbut Tahrir. Al-Qaeda mencapai tujuannya lebih cenderung menggunakan cara-cara anarkis bahkan aksi teror pada masyarakat internasional. Salah satu aksinya yang juga menjadi titik kulminasi terorisme internasional adalah kejadian 9/11 dengan pemboman gedung WTC di AS. Tragedi 9/11 dapat disebut juga sebagai bentuk attack dari organisasi Al-Qaeda yang mayoritas pengikutnya adalah tentara muslim yang dibentuk oleh pemerintah AS pada Perang Dingin di kawasan Afghanistan dan sekitarnya untuk membendung penyebaran komunis oleh Uni Soviet. Namun pada perkembangannya, implementasi gerakan ini lebih pada manifestasi jihad dalam lingkup internasional untuk memerang negara AS dan sekutunya yang dianggap sebagai bentuk hegemon dunia. Tujuan mereka sama dengan Hizbut Tahrir, yaitu untuk membuat negara Islam yang berlandaskan syariah. Kekuatan AS yang pada saat itu berada dipuncak dianggap sebagi penghalang realisasi khalifah dunia juga aliansi AS dengan lawan organisasi Al-Qaeda.
Kelompok diatas merpakan contoh kelompok anti-kosmopolitanisme yang memandang bahwa dominasi kepentingan mereka harus diutamakan. Ini juga merupakan bentuk superioritas kelompok mereka akan kelompok lain. Penolakan mereka terhadap kehadiran masyarakat bukan anggota yang dilandaskan atas dasar agama seperti Islam adalah satu bentuk penyelewengan. Karena Islam pun mengajarkan adanya toleransi dimana dalam membentuk suatu negara khilafah masyarakat dan negara harus tetap menghormati masyarakat non-muslim dengan mekanisme menjadikan agama sebagai ranah privat dan meminimalisir interbensi hukum pemerintahan dalam keagamaan. Sebenarnya, kehadiran pemikiran untuk menjadi suatu dunia khilafah bukan satu pemikiran yang benar-benar baru karena pernah berada pada titik kejayaan masa Nabi Muhammad.

Anti Kosmopolitanisme

Kosmopolitanisme merupakan paham yang berlandaskan pada etika perdamaian yang mengandung nilai-nilai yang bisa diterima masyarakat dunia seperti saling menghargai dan menghormati karena manusia merupakan masyarakat global. Kosmopolitanisme merupakan sebuah model dimana pola sikap manusia tidak lagi terikat pada suatu sistem sehingga perilaku masyarakat cenderung bebas.Sebagai suatu kesadaran etika, paham ini diharapkan dapat mengurangi gerakan-gerakan fundamentalisme dan nasionalisme yang radikal. Namun realitas yang ada justru menunjukkan pergerakan yang menyatakan anti terhadap kosmopolitanisme. Penentangan yang muncul oleh para kaum nasionalis dan fundamentalis disebabkan oleh masih menjunjung tinggi nilai-nilai fundamental dalam suatu sistem atau kelompoknya. Sebut saja terorisme yang dilakukan oleh Al-Qaeda dan Taliban di Afghanistan, IRA di Irlandia, genosida di Rwanda dan perompak di Somalia. Gerakan-gerakan inilah yang disebut dengan anti-kosmopolitanisme.
Anti-kosmopolitanisme memberikan pandangan globalisasi yang membawa nilai kosmpolit sebagi kumpulan kekuatan yang berbahaya dengan arus yang tak terkendali karena memiliki potensi melemahkan masyarakat. Ada dua pendekatan yang bisa digunakan untuk menelaah munculnya penentangan terhadap kosmopolitanisme, yaitu secara internal dan eksternal. Bila melihat dari segi internal akan melihat kosmopolitanisme yang menjadi sebuah paham perdamaian justru menjadi pemicu retaknya perdamaian itu sendiri ketika kosmopolitanisme diderivasikan pada variabel pendukung. Sedangkan dengan pendekatan eksternal lebih meletakkan pengaruh gerakan anti-kosmopolitanisme pada manifestasi kosmopolitanisme itu sendiri.
Pengakuan terhadap adanya perbedaan di antara we and the others dalam kaitannya dengan kosmopolitanisme tidak mudah untuk direalisasikan (Derrida,1984). Kosmopolitanisme, etika perilaku dan konsep the others memerlukan suatu jembatan untuk menghubungkan ketiganya. Penyediaan jembatan tersebut didukunhg oleh era globalisasi yang menyediakan informasi dan teknologi, sehingga masyarakat dunia lebih cepat mengenali satu sama lain. Proses inilah yang mendukung pada sikap saling menghargai dan menghormati, ketika manusia memahami keberagaman yang dimilikinya (Kendall et al,2005). Proponen kosmopolitanisme yang berada pada arus globalisasi tidak selamanya menjaga perdamaian. Akan tetapi globalisasi memunculkan ironi karena dalam proses globalisasi lebih banyak memunculkan pro dan kontra dari masyarakat internasional.
Philippe Legrain melihat globalisasi dalam aspek ekonomi perdagangan tidak semakin mempermudah pasar ketika mereka era keterbukaan pasar terjadi. Para stakeholder justru bertindak sebaliknya dengan melakukan pengetatan regulasi pasar global. Hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran akan rentannya kondisi ekonomi dunia akan krisis ekonomi. Dalam bidang ini, globalisasi justru cederung mengarah pada nilai-nilai anti-kosmopolitanisme. Selain itu, globalisasi dalam kacamata politik justru memberikan dampak pada variasi strategi politis dan manajemen perang. Dalam hal berperang dan berkompetisi era globalisasi lebih kepada new war. Mary Kaldor mengemukakan pada era ini, tujuan politisnya adalah klaim kekuatan terhadap aspek-aspek identitas nasional seperti supremasi suku, kemerdekaan bangsa dan kesucian aama. Dari contoh bidang kedua, sekali lagi globalisasi seolah gagal mengaitkan keberhasilan kosmopolitanisme, karena yang terjadi justru klaim anggota yang terlihat dalam perang. Yang ketiga adalah di segi budaya yang mendapat tantangan berat dari adanya globalisasi berupa komodifikasi budaya yang semakin menipis ( Footer & Graber,2000). Analisa sederhana diatas menunjukkan bahwa kosmopolitanisme jika dilihat dari sisi internalnya membutuhkan globalisasi sebagai variabel yang saling melengkapi. Globalisasi dan informasi kosmopolitanisme yang menjunjung tinggi perdamaian menjadi kontradiktif ketika realita sekarang ini menunjukkan sebaliknya seperti munculnya terorisme.
Belum ada definisi pasti mengenai terorisme, hanya dipengaruhi oleh beberapa elemen seperti ancaman dan kekerasan psikologis, penggunaan senjata pemusnah masal, tujuan politis dan menyebar ketakutan degan target masyarakat dan penggunaan media. Terorisme merupakan suatu fenomenan global yang menghambat pengembangan kosmopolitanisme. Ketika pada awal kemunculannya kelompok teroris tidak merujuk pada pergerakan religius, tetapi pasca 9/11 dan dikeluarkannya Bush Doctrine memberikan pergeseran makna pada terorisme yaitu pergerakan Islam seperti Al-Qaeda, Abu Sayaf dan Jamaah Islamiyah. Mereka menginginkan adanya pengembalian perilaku manusia pada nilai-nilai fundamental agama. Pergerakan mereka dengan membangun berbagai koneksi, merekrut anggota dan kaderisasi anggota. Tujuan umum mereka adalah meningkatkan bergaining politic, kompromi politik dan adanya suatu tatanan dunia baru. Kelompok teroris ini memiliki pemikiran apa yang dilakukannya itu adalah benar dan merupakan bentuk Jihad. Semangat pembelaan agama ini disalah artikan oleh kelompok teroris untuk membunuh orang-orang yang berbeda dengan mereka. Selain jihad, juga terdapat purifikasi etnis dengan menjaga kemurnia ras nya untuk tidak tercampur dengan ras lain atau menganggap ras lain sebagai ancaman dan yang paling ekstrem adalah genosida dengan pengusiran bahkan pembunuhan etnis.
Sebagai sebuah paham perdamaian, kosmopolitanisme mendapat banyak tantangan dengan munculnya gerakan anti-kosmopolitanisme, seperti terorisme, etnis purifikasi dan genosida. Nilai-nilai kosmopolitanisme yang seharusnya dapat disebarluaskan melalui globalisasi justru menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan. Dua hal tersebut yang sering menimbulkan pemikiran sempit dari kaum yang terpinggirkan sehingga menimbulkan aksi nasionalisme, fundamentalisme bahkan terorisme yang sebenarnya bertujuan untuk meingkatkan posisi mereka. Jika dikaitkan dengan perspektif hubungan internasional yang realis, implementasi global citizenship yang dibawa oleh kosmopolitanisme berhasil dalam skala kelompok kecil atau regional. Dengan realita sekarang ini,sifat dasar manusia yang menurut kaum realis memiliki kecenderungan berkonflik dan mengedepankan kepentingan mereka lebih tepat dibanding konsep liberalis yang mengemukakan bahwa manusia pada dasarnya baik dan mampu terkoordinasi dan berkooperasi dengan baik.

Globalization and Cosmopolitanism

Menurut beberapa tokoh seperti, Bill Clinton, globalisasi merupakan dunia tanpa tembok, sementara menurut George Monbiot, globalisasi mengizinkan perusahaan untuk mengarahkan“ a gun to government’s head “ (Mc.Gillivray,2006:4). Globalisasi merupakan sebuah proses yang terjadi dalam dunia internasional yang kemunculannya membawa berbagai spekulasi karena pengaruhnya pada fenomena internasional termasuk pembawaan nilai-nilai kosmpolitanisme. Keohane dan Joseph Nye mengatakan bahwa globalisasi bukanlah hal yang baru. Di bidang ekonomi, globalisasi muncul tahun 1850an menjadi sebuah istilah yang populer. Keohane dan Nye kemudian mengidentifikasi globalisasi sebagai sebuah proses kenaikan. Kepercayaan akan ini disebut dengan globalisme, yaitu dimana sebuah pemahaman global yang mengalami fluktuasi, kenaikan (globalisasi) ataupun penurunan (Keohane&Nye,2000:105-106). Kosmpolitanisme yang dibawa dalam proses globalisasi ini nantinya akan mengalami titik tertinggi, seperti contohnya adalah mobilitas masyarakat yang tinggi, juga mulai adanya pikiran global village sebagai bagian dari masyarakat dunia.” Salah satu contoh nilai kosmpolitanisme lain yang dibawa dari proses globalisasi makanan adalah adanya McDonald yang tersebar di seluruh dunia sehingga memunculkan istilah Mcworld. Didalam Mcd terjadi proses adaptasi rasa makanan yang berbeda-beda tiap negara. Bila dipandang dari sudut kosmopolitanisme yang menghargai perbedaan lokal, hal ini merupakan bentuk penghargaan akan cita rasa global agar diterima oleh masyarakat lokal. Globalisasi dan kosmpolitanisme berkorelasi secara mutual karena keduanya saling terkait erat karena kosmopolitan membutuhkan wadah untuk menyebarkan nilainya – perdamaian global, unifikasi, dan toleransi- dengan cepat yaitu dengan globalisasi, sekaligus sebagai varian globalisasi itu sendiri.
Politikus Martha Nussbaum (1986) dan Alaisdar McIntyre (1984) menyebutkan ada tiga bentuk konsep kewarganegaraan menurut ide kosmopolitan yang erat dengan kaitannya dengan global citizenship yaitu kewarganegaraan neoliberal dimana negara bertugas untuk melindungi kebebasan individu terutama dalam hal perdagangan yang dibawa oleh arus globalisasi misalnya dengan free trade. Dengan tercapainya kebebasan individu maka akan berdampak pada kesejahteraan negara sekaligus kesejahteraan ekonominya. Yang kedua adalah model kewarganegaraan kesejahteraan sosial, dimana negara dibentuk untuk melindungi warga negaranya dari pasar bebas yang mampu memperburuk kondisi disparitas kesejahteraan antara the have and the have not. Yang ketiga merupakan kewarganegaraan berdasarkan kesadaran edukasional, dengan fokus pendidikan itu penting dalam kesejahteraan untuk menghindari kesenjangan ekonomi. Juga peran penting budaya yang dianggap mengembangkan pendidikan masyarakat (Turner,2002:47-48). Dari ketiga model diatas, menurut saya model ketiga paling mungkin untuk hadir dalam mendukung terciptanya suatu global citizenship. Karena pada model yang pertama dan kedua masih muncul masalah-masalah etis yang semakin memperburuk kondisi suatu bangsa sehingga kelompok nasionalis dan fundamentalis akan muncul untuk memperkuat identitas mereka.
Aspek negatif yang signifikan terlihat dari globalisasi adalah biasnya identitas kultural masyarakat yang nantinya akan memicu konflik etnis ataupun konflik lintas batas. Perlu pemikiran lebh skeptis untuk mengetahui apakah kosmopolitanisme ini benar mengubah dan menggantikan identitas lokal dengan identitas yang ditawarkan oleh kosmopolitanisme. Anthony Smith menyebutkan bahwa belum ada jenis budaya global yang betul-betul meleibihi nilai-nilai suatu bangsa negara. Pernyataan ini diperkuat oleh Mann, bahwa kosmopolitanisme jauh dari melemahkan nasionalisme namun memperkuat identitas nasional (www.staff,ugm.ac.id)
Kelompok nasionalis dan fundamentalis akan memperkuat posisinya untuk mempertahankan identitas mereka, sehingga konsep the self dan the others sehingga perdamaian yang dicita-citakan oleh kaum kosmpolit akan sulit tercapai. Dua kondisi yang menurut saya mungkin terjadi dalam globalisasi dan kosmpolit adalah hilangnya kebudayaan lokal itu karena tergerus universalisasi yang dibawa dan sebaliknya, kebudayaan lokal justru tampil sebagai bentuk kesadaran masyarakat dunia akan identitas kulturalnya. Pilihan ini berada pada level individu untuk menentukan posisinya, bila kebudayaan lokal itu hilang, hal itu tidak sepenuhnya hilang karena nilai budaya universal seperti McDonald itu tidak sepenuhnya terinternalisasi kedalam pribadi individu itu sendiri. Masyarakat akan terjebak sesaat pada nilai-nilai baru yang ditawarkan kosmopolitanisme melalui arus globalisasi hingga sampai pada satu titik mereka akan menyadari pentingnya identitas budaya asli miliknya. Faktor yang mampu menggugah kesadaran ini adalah social welfare yang dibawa oleh kosmopolitanisme tidak merata dan hanya menguntungkan satu kelas saja. Jika globalisasi ini terus diterima oleh individu atau negara secara terus menerus tanpa adanya filtrasi yang cukup ketat, maka akan menyebabkan kondisi dunia yang saling bergantung. Aguste Comte, J.S Mill, Karl Marx dan Anthony Giddens melihat keterkaitan dentitas nasional, globalisasi, dan kosmopolitanisme mampu mendorong terciptanya komunitas dunia yang meningkatkan kepedulian tentang keuntungan kolaborasi transnasional yang terwujud melalui asosiasi regional dan internasional. Menurut Held, penurunan power negara dalam kondisi ini mendorong nation-state untuk bekerja sama dengan ketergantungan yang lebih kompleks lagi dalam permasalahan dunia seperti lingkungan, kesehatan, human right, dan sebagainya. Hist dan Thompson melihat bahwa nation-state akan mempertahankan kekuasaannya dengan menggunakan blok-blok regional untuk mempertahankan eksistensinya didunia internasional agar tidak tergantikan oleh aktor non-negara yang terutama para pemilik modal (www.staff.ugm.ac.id). Jadi, global citizenship yang muncul berkaitan erat dengan integrasi wilayah juga regionalisme disebabkan karena melemahnya batas-batas negara juga gerakan emansipatoris ke negara berkembang. Diimbangi dengan tingkat edukasi yang tinggi, maka kemajuan teknologi dan informasi, maka globalisasi dianggap sebagai catalyze variable dalam memberi ruang untuk penyebaran nilai-nilai kosmopolitanisme.