Selasa, 02 Agustus 2011

Anti Kosmopolitanisme

Kosmopolitanisme merupakan paham yang berlandaskan pada etika perdamaian yang mengandung nilai-nilai yang bisa diterima masyarakat dunia seperti saling menghargai dan menghormati karena manusia merupakan masyarakat global. Kosmopolitanisme merupakan sebuah model dimana pola sikap manusia tidak lagi terikat pada suatu sistem sehingga perilaku masyarakat cenderung bebas.Sebagai suatu kesadaran etika, paham ini diharapkan dapat mengurangi gerakan-gerakan fundamentalisme dan nasionalisme yang radikal. Namun realitas yang ada justru menunjukkan pergerakan yang menyatakan anti terhadap kosmopolitanisme. Penentangan yang muncul oleh para kaum nasionalis dan fundamentalis disebabkan oleh masih menjunjung tinggi nilai-nilai fundamental dalam suatu sistem atau kelompoknya. Sebut saja terorisme yang dilakukan oleh Al-Qaeda dan Taliban di Afghanistan, IRA di Irlandia, genosida di Rwanda dan perompak di Somalia. Gerakan-gerakan inilah yang disebut dengan anti-kosmopolitanisme.
Anti-kosmopolitanisme memberikan pandangan globalisasi yang membawa nilai kosmpolit sebagi kumpulan kekuatan yang berbahaya dengan arus yang tak terkendali karena memiliki potensi melemahkan masyarakat. Ada dua pendekatan yang bisa digunakan untuk menelaah munculnya penentangan terhadap kosmopolitanisme, yaitu secara internal dan eksternal. Bila melihat dari segi internal akan melihat kosmopolitanisme yang menjadi sebuah paham perdamaian justru menjadi pemicu retaknya perdamaian itu sendiri ketika kosmopolitanisme diderivasikan pada variabel pendukung. Sedangkan dengan pendekatan eksternal lebih meletakkan pengaruh gerakan anti-kosmopolitanisme pada manifestasi kosmopolitanisme itu sendiri.
Pengakuan terhadap adanya perbedaan di antara we and the others dalam kaitannya dengan kosmopolitanisme tidak mudah untuk direalisasikan (Derrida,1984). Kosmopolitanisme, etika perilaku dan konsep the others memerlukan suatu jembatan untuk menghubungkan ketiganya. Penyediaan jembatan tersebut didukunhg oleh era globalisasi yang menyediakan informasi dan teknologi, sehingga masyarakat dunia lebih cepat mengenali satu sama lain. Proses inilah yang mendukung pada sikap saling menghargai dan menghormati, ketika manusia memahami keberagaman yang dimilikinya (Kendall et al,2005). Proponen kosmopolitanisme yang berada pada arus globalisasi tidak selamanya menjaga perdamaian. Akan tetapi globalisasi memunculkan ironi karena dalam proses globalisasi lebih banyak memunculkan pro dan kontra dari masyarakat internasional.
Philippe Legrain melihat globalisasi dalam aspek ekonomi perdagangan tidak semakin mempermudah pasar ketika mereka era keterbukaan pasar terjadi. Para stakeholder justru bertindak sebaliknya dengan melakukan pengetatan regulasi pasar global. Hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran akan rentannya kondisi ekonomi dunia akan krisis ekonomi. Dalam bidang ini, globalisasi justru cederung mengarah pada nilai-nilai anti-kosmopolitanisme. Selain itu, globalisasi dalam kacamata politik justru memberikan dampak pada variasi strategi politis dan manajemen perang. Dalam hal berperang dan berkompetisi era globalisasi lebih kepada new war. Mary Kaldor mengemukakan pada era ini, tujuan politisnya adalah klaim kekuatan terhadap aspek-aspek identitas nasional seperti supremasi suku, kemerdekaan bangsa dan kesucian aama. Dari contoh bidang kedua, sekali lagi globalisasi seolah gagal mengaitkan keberhasilan kosmopolitanisme, karena yang terjadi justru klaim anggota yang terlihat dalam perang. Yang ketiga adalah di segi budaya yang mendapat tantangan berat dari adanya globalisasi berupa komodifikasi budaya yang semakin menipis ( Footer & Graber,2000). Analisa sederhana diatas menunjukkan bahwa kosmopolitanisme jika dilihat dari sisi internalnya membutuhkan globalisasi sebagai variabel yang saling melengkapi. Globalisasi dan informasi kosmopolitanisme yang menjunjung tinggi perdamaian menjadi kontradiktif ketika realita sekarang ini menunjukkan sebaliknya seperti munculnya terorisme.
Belum ada definisi pasti mengenai terorisme, hanya dipengaruhi oleh beberapa elemen seperti ancaman dan kekerasan psikologis, penggunaan senjata pemusnah masal, tujuan politis dan menyebar ketakutan degan target masyarakat dan penggunaan media. Terorisme merupakan suatu fenomenan global yang menghambat pengembangan kosmopolitanisme. Ketika pada awal kemunculannya kelompok teroris tidak merujuk pada pergerakan religius, tetapi pasca 9/11 dan dikeluarkannya Bush Doctrine memberikan pergeseran makna pada terorisme yaitu pergerakan Islam seperti Al-Qaeda, Abu Sayaf dan Jamaah Islamiyah. Mereka menginginkan adanya pengembalian perilaku manusia pada nilai-nilai fundamental agama. Pergerakan mereka dengan membangun berbagai koneksi, merekrut anggota dan kaderisasi anggota. Tujuan umum mereka adalah meningkatkan bergaining politic, kompromi politik dan adanya suatu tatanan dunia baru. Kelompok teroris ini memiliki pemikiran apa yang dilakukannya itu adalah benar dan merupakan bentuk Jihad. Semangat pembelaan agama ini disalah artikan oleh kelompok teroris untuk membunuh orang-orang yang berbeda dengan mereka. Selain jihad, juga terdapat purifikasi etnis dengan menjaga kemurnia ras nya untuk tidak tercampur dengan ras lain atau menganggap ras lain sebagai ancaman dan yang paling ekstrem adalah genosida dengan pengusiran bahkan pembunuhan etnis.
Sebagai sebuah paham perdamaian, kosmopolitanisme mendapat banyak tantangan dengan munculnya gerakan anti-kosmopolitanisme, seperti terorisme, etnis purifikasi dan genosida. Nilai-nilai kosmopolitanisme yang seharusnya dapat disebarluaskan melalui globalisasi justru menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan. Dua hal tersebut yang sering menimbulkan pemikiran sempit dari kaum yang terpinggirkan sehingga menimbulkan aksi nasionalisme, fundamentalisme bahkan terorisme yang sebenarnya bertujuan untuk meingkatkan posisi mereka. Jika dikaitkan dengan perspektif hubungan internasional yang realis, implementasi global citizenship yang dibawa oleh kosmopolitanisme berhasil dalam skala kelompok kecil atau regional. Dengan realita sekarang ini,sifat dasar manusia yang menurut kaum realis memiliki kecenderungan berkonflik dan mengedepankan kepentingan mereka lebih tepat dibanding konsep liberalis yang mengemukakan bahwa manusia pada dasarnya baik dan mampu terkoordinasi dan berkooperasi dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar