Selasa, 02 Agustus 2011

Globalization and Cosmopolitanism

Menurut beberapa tokoh seperti, Bill Clinton, globalisasi merupakan dunia tanpa tembok, sementara menurut George Monbiot, globalisasi mengizinkan perusahaan untuk mengarahkan“ a gun to government’s head “ (Mc.Gillivray,2006:4). Globalisasi merupakan sebuah proses yang terjadi dalam dunia internasional yang kemunculannya membawa berbagai spekulasi karena pengaruhnya pada fenomena internasional termasuk pembawaan nilai-nilai kosmpolitanisme. Keohane dan Joseph Nye mengatakan bahwa globalisasi bukanlah hal yang baru. Di bidang ekonomi, globalisasi muncul tahun 1850an menjadi sebuah istilah yang populer. Keohane dan Nye kemudian mengidentifikasi globalisasi sebagai sebuah proses kenaikan. Kepercayaan akan ini disebut dengan globalisme, yaitu dimana sebuah pemahaman global yang mengalami fluktuasi, kenaikan (globalisasi) ataupun penurunan (Keohane&Nye,2000:105-106). Kosmpolitanisme yang dibawa dalam proses globalisasi ini nantinya akan mengalami titik tertinggi, seperti contohnya adalah mobilitas masyarakat yang tinggi, juga mulai adanya pikiran global village sebagai bagian dari masyarakat dunia.” Salah satu contoh nilai kosmpolitanisme lain yang dibawa dari proses globalisasi makanan adalah adanya McDonald yang tersebar di seluruh dunia sehingga memunculkan istilah Mcworld. Didalam Mcd terjadi proses adaptasi rasa makanan yang berbeda-beda tiap negara. Bila dipandang dari sudut kosmopolitanisme yang menghargai perbedaan lokal, hal ini merupakan bentuk penghargaan akan cita rasa global agar diterima oleh masyarakat lokal. Globalisasi dan kosmpolitanisme berkorelasi secara mutual karena keduanya saling terkait erat karena kosmopolitan membutuhkan wadah untuk menyebarkan nilainya – perdamaian global, unifikasi, dan toleransi- dengan cepat yaitu dengan globalisasi, sekaligus sebagai varian globalisasi itu sendiri.
Politikus Martha Nussbaum (1986) dan Alaisdar McIntyre (1984) menyebutkan ada tiga bentuk konsep kewarganegaraan menurut ide kosmopolitan yang erat dengan kaitannya dengan global citizenship yaitu kewarganegaraan neoliberal dimana negara bertugas untuk melindungi kebebasan individu terutama dalam hal perdagangan yang dibawa oleh arus globalisasi misalnya dengan free trade. Dengan tercapainya kebebasan individu maka akan berdampak pada kesejahteraan negara sekaligus kesejahteraan ekonominya. Yang kedua adalah model kewarganegaraan kesejahteraan sosial, dimana negara dibentuk untuk melindungi warga negaranya dari pasar bebas yang mampu memperburuk kondisi disparitas kesejahteraan antara the have and the have not. Yang ketiga merupakan kewarganegaraan berdasarkan kesadaran edukasional, dengan fokus pendidikan itu penting dalam kesejahteraan untuk menghindari kesenjangan ekonomi. Juga peran penting budaya yang dianggap mengembangkan pendidikan masyarakat (Turner,2002:47-48). Dari ketiga model diatas, menurut saya model ketiga paling mungkin untuk hadir dalam mendukung terciptanya suatu global citizenship. Karena pada model yang pertama dan kedua masih muncul masalah-masalah etis yang semakin memperburuk kondisi suatu bangsa sehingga kelompok nasionalis dan fundamentalis akan muncul untuk memperkuat identitas mereka.
Aspek negatif yang signifikan terlihat dari globalisasi adalah biasnya identitas kultural masyarakat yang nantinya akan memicu konflik etnis ataupun konflik lintas batas. Perlu pemikiran lebh skeptis untuk mengetahui apakah kosmopolitanisme ini benar mengubah dan menggantikan identitas lokal dengan identitas yang ditawarkan oleh kosmopolitanisme. Anthony Smith menyebutkan bahwa belum ada jenis budaya global yang betul-betul meleibihi nilai-nilai suatu bangsa negara. Pernyataan ini diperkuat oleh Mann, bahwa kosmopolitanisme jauh dari melemahkan nasionalisme namun memperkuat identitas nasional (www.staff,ugm.ac.id)
Kelompok nasionalis dan fundamentalis akan memperkuat posisinya untuk mempertahankan identitas mereka, sehingga konsep the self dan the others sehingga perdamaian yang dicita-citakan oleh kaum kosmpolit akan sulit tercapai. Dua kondisi yang menurut saya mungkin terjadi dalam globalisasi dan kosmpolit adalah hilangnya kebudayaan lokal itu karena tergerus universalisasi yang dibawa dan sebaliknya, kebudayaan lokal justru tampil sebagai bentuk kesadaran masyarakat dunia akan identitas kulturalnya. Pilihan ini berada pada level individu untuk menentukan posisinya, bila kebudayaan lokal itu hilang, hal itu tidak sepenuhnya hilang karena nilai budaya universal seperti McDonald itu tidak sepenuhnya terinternalisasi kedalam pribadi individu itu sendiri. Masyarakat akan terjebak sesaat pada nilai-nilai baru yang ditawarkan kosmopolitanisme melalui arus globalisasi hingga sampai pada satu titik mereka akan menyadari pentingnya identitas budaya asli miliknya. Faktor yang mampu menggugah kesadaran ini adalah social welfare yang dibawa oleh kosmopolitanisme tidak merata dan hanya menguntungkan satu kelas saja. Jika globalisasi ini terus diterima oleh individu atau negara secara terus menerus tanpa adanya filtrasi yang cukup ketat, maka akan menyebabkan kondisi dunia yang saling bergantung. Aguste Comte, J.S Mill, Karl Marx dan Anthony Giddens melihat keterkaitan dentitas nasional, globalisasi, dan kosmopolitanisme mampu mendorong terciptanya komunitas dunia yang meningkatkan kepedulian tentang keuntungan kolaborasi transnasional yang terwujud melalui asosiasi regional dan internasional. Menurut Held, penurunan power negara dalam kondisi ini mendorong nation-state untuk bekerja sama dengan ketergantungan yang lebih kompleks lagi dalam permasalahan dunia seperti lingkungan, kesehatan, human right, dan sebagainya. Hist dan Thompson melihat bahwa nation-state akan mempertahankan kekuasaannya dengan menggunakan blok-blok regional untuk mempertahankan eksistensinya didunia internasional agar tidak tergantikan oleh aktor non-negara yang terutama para pemilik modal (www.staff.ugm.ac.id). Jadi, global citizenship yang muncul berkaitan erat dengan integrasi wilayah juga regionalisme disebabkan karena melemahnya batas-batas negara juga gerakan emansipatoris ke negara berkembang. Diimbangi dengan tingkat edukasi yang tinggi, maka kemajuan teknologi dan informasi, maka globalisasi dianggap sebagai catalyze variable dalam memberi ruang untuk penyebaran nilai-nilai kosmopolitanisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar