Selasa, 02 Agustus 2011

Nationalism, “the hate of the other” Renan ?

Semenjak runtuhnya Uni Soviet pasca perang dingin menimbulkan dampak pada banyak terbentuknya nation-state baru. Dengan begitu akan memberi elemen bar dalam sejarah nasionalisme di abad ke dua puluh satu ini. Nationalisme dapat diartikan sebagai bentuk rasa kebersamaan akan kepemilikan suatu hal diantara masyarakat dengan tujuan mendeklarasikan dan mengatur kedaulatan politik (Barruel dalam Jusdanis,2001:18). Rasa nasionalisme juga mampu mengubah identitas etnis menjadi identitas politik. Inilah yang membawa kesebuah pertanyaan, apakah nasionalisme itu akan berujung pada adanya superioritas atau suatu hal yang berbeda. Nasionalisme dapat dibedakan menjadi “good nationalism” dan “bad nationalism”, nasionalisme baik merupakan nasionalisme yang mampu membentuk kesadaran akan identitas nasional, sementara nasionalisme yang buruk membawa kelompok nasionalis cenderung bersifat ethno nationalist dengan menolak hidup berdampingan dengan kelompok lain yang berbeda, seperti penghilangan salah satu etnis di Bosnia.
Superioritas merupakan eksklusivisme grup terhadap diri atau grup lain dengan menimbulkan nilai lebih dalam individu atau grup tersebut. Dalam nasionalisme seringkali ditunjukkan oleh adanya tendensi kekerasan terhadap individu atau kelompok bangsa lainnya, sehingga terlihat lebih radikal. Dalam kaiatannya menjadi kelompok yang superior, nasionalisme terlihat dengan dominasi terhadap bangsa atau kelompok masyarakat lainnya. Hal inilah yang nantinya akan memicu konflik serta munculnya gerakan separatis. Contohnya ada kelompok Moro di Filipina, Pattani di Thailand, atau OPM di Papua dengan alasan diskriminasi dari pemerintah. Tidak hanya dalam hal ideologi politik, dalam ranah ekonomi politik pun konsep superioritas dan nasionalisme pun ikut mempengaruhi bagaimana perilaku pasar domestik terhadap produk luar negeri.
Gerakan nasionalis yang berlebihan sering disamakan dengan fundamentalisme. Konsep keduanya ini berbeda, karena fundamentalisme merupakan bentuk pengamalan nilai-nilai dasar yang di yakini. Nilai-nilai fundamentalisme banyak dikaitkan dengan nilai-nilai agama, contohnya terlihat di negara Islam yang menggunakan nilai-nilai fundamental agama dengan tujuan memperluas batas-batas wilayah (Hobsbwam,1990:164). Selain agama, nilai fundamental yang masih relevan sekarang ini adalah ajaran Konfusius di China sebagai dasar berperilaku masyarakat China, bahkan sampai pada hubungan pemerintah dengan rakyatnya/ Fundamentalisme digunakan untuk mengatur batas untuk menarik hal yang sesuai dan mengasingkan yang lain untuk membatasinya (Hobsbwam,1990:176). Sehingga interaksinya dengan masyarakat terlihat lebih kaku, namun tidak semuanya bersifat memaksa atau kekerasan. Perbedaan antara nasionalis dan fundamentalis dapat dilihat sebagai berikut :
Fundamentalisme Nasionalisme
Akar Buku-buku keagamaan Revolusi Industri
Tujuan Membangun pemikiran internasional Penolakan akan sistem internasional

Namun tidak selamanya fundamentalisme dan nasionalisme itu bertolak belakang, karena menurut saya, para kaum nasionalis tentu memiliki dasar-dasar fundamental bersama sehingga mereka dapat bersatu. Contohnya adalah rela berkorban sebagai dasar fundamental para pahlawan Indonesia untuk memerdekakan Indonesia yang berujung pada tindakan patriotisme.
Jika fundamentalisme berkaitan dengan nilai keagamaan, maka juga relasi nasionalisme dengan tingkat religiusitas itu sendiri. Hubungan keduanya terlihat, ketika suatu negara mengadopsi nilai-nilai keagamaan dengan penggunaan agama sebagai basis ideologinya dan dimana agama digunakan pemerintah central (eksekutif) dan badan yuridisnya. Agama dipakai sebagai bentuk justifikasi akan diri sendiri yang mematuhi hukum Tuhan dan musuh sebagai inferior. Contoh negara yang ada seperi Arab Saudi, Jepang yang memasukkan unsur-unsur religi di tiap elemen “kebangsaan”. Hubungan nasionalisme dengan religiusitas memang jarang ditemui, namun ketika sekelompok orang menjadikan agama sebagai justifikasi tindakannya maka akan terbentuk suatu movement “bad nationalism” yang membawa fragmentasi suatu populasi. Yang paling terlihat sekarang ini adalah pembentukan Negara Indonesia Islam (NII) di Indonesia. Tindakan yang mereka lakukan memang tidak seperti kelompok militan yang secara jelas melakukan perlawanan –contoh: terorisme- namun kelompok religius ini masuk melalui gerakan bawah dan organisasi masyarakat dalam menyebarkan pengaruhnya. Dalam kaitannya dengan globalisasi, nasionalisme suatu terlihat semakin menonjol dibanding keberadaan negara yang dikaburkan dengan konsep deteritorialisasi. Hal inilah yang berujung pada seringnya konflik-konflik baik etnis maupun agama yang disebabkan karena kesadaran akan nilai-nilai bersama yang mereka percayai tinggi. Superioritas nasionalisme seolah membentuk klaim dalam menciptakan persatuan nasional sekaligus merubah pandangan masyarakat dan mengidentifikasi suatu komunitas, juga rasa national unity dalam wadah politik yaitu nation-state (Brubaker,2004). Globalisasi sekarang membawa suatu kondisi dimana klaim politis akan nation ini diperkuat dengan nilai-nilai agama, khususnya di negara yang sejak awal menggunakan agama sebagai hukum dan fundamen, karena globalisasi membawa nilai demokrasi dan sistem sekuler agama yang mulai di galakkan diberbagai negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar