Selasa, 02 Agustus 2011

Guerrilla War

Jika menginginkan suatu keadaan damai, maka harus mempersiapkan perang. Namun, Hart mengemukakan bahwa ada kesalahan dalam pengulangan metode perang pada kondisi perang terakhir yang sebenarnya banyak berubah. Pasca Perang Dunia II, ketika perang merupakan aksi yang terorganisir munculnya kekuatan nuklir dijadikan bentuk strategi pencegahan, penggunaanya hanya akan menghasilkan chaos bukan perang ( Liddel Hart,1991 :361). Untuk itu diperlukan pengertiang bentuk-bentuk perang baik itu gerilya maupun perang subversif. Di abad ini perang gerilya menjadi fitur penting dalam konflik dibanding penerimaan teori militer Barat, meskipun aksi senjata oleh pasukan non-regular masih sering terjadi. Clausewitz dalam karyanya yang berjudul On War yang menyepakati beberapa bentuk pertahanan, seperti adanya kelompok bersenjata untuk mengukur pertahanan melawan musuh sebagai kondisi dasar kesuksesan dan keterbatasan dalam perang gerilya. Contoh yang paling mencolok dalam aksi gerilya terlihat dalam ketahanan rakyat Spanyol dalam menghadang tentara Napoleon yang membawa istilah dalam penggunaan militer (Liddel Hart,1991:362).
Lawrence dalam Seven Pillars of Wisdom mengemukakan bahwa teori gerilya memfokuskan pada nilai ofensif sebagai produk kombinasi refleksi dan pengalaman. Contoh bentuk aksi gerilya pada Perang Dunia I yang memiliki pengaruh penting terjadi di Timur Tengah dengan pemberontakan Arab terhadap Turki, dimana keduanya mengusahakan kemerdekaan dan bentuk kampanye Sekutu dalam melawan Turki. Dalam Perang Dunia II perang gerilya menyebar cepat – di Eropa digunakan Jerman dan di Asia digunakan Jepang - dan menjadi fitur perang universal. Perkembangannya dapat diamati dari kesan Lawrence terhadap kebijakan Churchil untuk memanfaatkan perang gerilya sebagai bentuk counter-weapon setelah Jerman menyerbu Perancis pada 1940. Bentuk perang gerilya yang semakin berkembang dan berkepanjangan dibawa oleh komunisme China tahun 1920 dibawah pimpinan Mao Tse-Tung dengan memanfaatkan kesempatan ketika Jepang menginvasi daratan China dibawah pimpinan nasionalis Chiang Kai Shek yang saat itu sedang berkonflik dengan Kanton untuk menghapus elemen komunis pada tentara revolusi nasionalnya. Gerilyawan komunis Mao banyak membantu tentara Jepang dari serangan tentara Chiang Kai sek, sekaligus menyebarkan pengaruhnya pada masyarakat China sehingga berselang empat tahun Mao berhasil mengambil alih kekuasaan di China (Liddel Hart,1991:363).
Perkembangan gerilya dan perang subversif semakin intesif dengan adanya nuklir terutama datang dari adanya bom hidrogen ditahun 1954 juga keputusan pemerintahan Amerika pada masa Nixon dan Einshower, dalam mengadopsi kebijakan dan strategi pembalasan besar-besaran (massive retaliation) sebagai pencegah agresi. Penggunaan nuklir dalam mengubah bentuk strategi gerilya saat itu mustahil, karena kebijakan yang dibut tidak memberikan dampak apapun namun berbalik memberikan efek natural menstimulasi agresi karena senjata nuklir bukanlah pembanding yang seimbang. Hart menyarankan bahwa dalam mengembangan metode terbaru, maka diperlukan pengenalan metode konvensional (Liddel Hart,1991:363). Strategi sekarang ini dikembangakan oleh lawan yang diinspirasi oleh dual ide penghindaran kekuatan udara superior, karena akan memberikan efek bom yang lebih besar yang dapat menjadi bentuk gerilya baru. Penulis menginginkan adanya re-orientasi dalam kebijakan militer yang memiliki implikasi yang lamban untuk dikembangkan tetapi meningkat cepat saat pemerintahan presiden Kennedy tahun 1961 dengan saling bekerja sama dengan aliansi, orientasi mengenai penggunaan non-nuklir, dan perang non-konvensional sebagai bentuk anti-gerilya yang digunakan oleh rezim Komunis saat itu. Kalimat ‘forewarned is forearmed’ lebih cocok teraplikasi untuk perang subversif dan gerilya dibanding perang biasa karena basis persiapan dan pengetahuan terhadap situasi (Liddel Hart,1991:365).
Perang gerilya bersifat dinamis dan diharuskan untuk mengatur momentum. Adanya interval statis dianggap lebih merugikan karena mampu memberi lawan kesempatan untuk memperkuat pasukannya juga bertambahnya populasi pasukan untuk membantu strategi gerilya tersebut. Gerilya memang dilakukan oleh beberapa orang diawal, namun tetap bergantung pada banyak orang diakhir. Pertahanan statis dan tetap bukan merupakan bagian dari aksi gerilya, kecuali berada pada situasi terjebak (ambushed). Aksi gerilya berkebalikan dengan praktik peperangan normal yang secara strategi menghindari berbagai bentuk pertempuran, istilah ‘hit and run’ lebih komprehensif diterapkan dalam strategi gerilya. Komponen lain yang dijelaskan untuk membantu keberhasilan strategi ini adalah keberagaman kudeta kecil namun dapat mengakumulasikan kehancuran, keributan, dan demoralisasi diantara populasi. ‘Tip and run’ merupakan langkah yang paling baik untuk mengisi tujuan ofensif dalam memikat lawan kedalam penyergapan ( Liddel Hart,1991:365). Prinsip lain dalam perang gerilya adalah konsentrasi yang dapat dilakukan dengan fluiditas kekuatan dan penyebaran untuk mencapai keberhasilan. Penulis menyatakan bahwa perbandingan kekuatan merupakan faktor dasar yang juga dipengaruhi oleh kondisi alam suatu negara, informasi, dan psikologikal politis dalam membantu usaha gerilya (Liddel Hart,1991:366).
Mulanya, perang gerilya merupakan senjata dari sisi lemah yang defensif, tetapi pada era atom lebih banyak berkembang sebagai bentuk agresi yang cocok untuk memanfaatkan ‘kematian nuklir’ karena konsep strategi pada perang dingin dianggap tidak relevan untuk sekarang yang lebih cenderung pada perang kamuflase. Kritik yang diberikan Liddel Hart kepada militer barat yang lebih menyukai massive retaliation dianggap tidak bisa belajar dari sejarah untuk menemukan strategi pembanding peperangan jenis ini. Strategi gerilya juga memainkan peranan grand strategy seperti kebijakan-kebijakan untuk menstimulasi adanya pemberontakan didaerah lawan. Penulis melihat bahwa strategi militer barat yang tergolong frontal dalam menyerang merupakan bentuk pengulangan strategi lama. Menurutnya, gerilya dapat membalas lawan dengan lebih halus karena kegiatan berperang lebih disamarkan oleh pergerakan pembanding ofensif dengan jenis yang sama. Oleh karena itu dalam merancang dan menentukan strategi dimasa depan harus lebih bijak dalam merumuskan kebijakan dan membutuhkan pemahaman masa lalu yang lebih matang. Masa keemasan perang gerilya digunakan oleh Mao untuk mengambil alih kekuasaan di daratan China, karena perang gerilya tidak terfokus pada hal militer saja, namun juga pada sisi kebijakan yang dibuat yang kebanyakan terfokus pada rakyat, karena esensi dari gerilya itu adalah revolusi yang berawal dari pemberontakan. Keberhasilan gerilya itu sendiri berada pada kerjasama, simpati, dan bantuan dari rakyat itu sendiri. Banyak nilai Clausewitzian yang menurut saya ada pada tipe perang gerilya ini seperti keterkaitan perang dengan suatu kebijakan (grand strategy) juga implikasinya kepada rakyat, dimana perang itu bukanlah suatu kegiatan yang tanpa tujuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar