Selasa, 02 Agustus 2011

Revolusi Libya 2011 sebagai bentuk Geopolitik

Libya merupakan di kawasan Afrika Utara dengan ibu kota Tripoli pernah menjadi jajahan Kaisar Ottoman Turki hingga akhirnya berhasil di rebut Italia dan mencapai kemerdekaannya pada tahun 1951 . Sebelum di pimpin oleh Gaddafi, Libya di pimpin oleh Raja Idris al-Sanusi. Di tahun 1959, Libya mulai melakukan eksplorasi minyak untuk kemakmuran negara. Libya merupakan negara yang kaya akan minyak di Afrika Utara namun sayang pengelolaan di sektor ini masih belum berkembang optimal. Tahun 1956-1961 Libya membuka kerjasama pertambangan minyak dan pipa gas di Laut Mediterania dengan AS. Minyak dan gas merupakan komoditas ekonomi utama Libya mereformasi perekonomian untuk memenuhi oposisi politiknya . Pada tahun 1969, terjadi kudeta dari pimpinan militer Kolonel Gadaffi atas pemerintahan Raja Idris. Pengambil alihan kekuasaan oleh Gadaffi dianggap berbeda dengan revolusi yang ada di negara sekitarnya. Adanya revolusi ini di inspirasi oleh pemimpin nasionalis Mesir, Gamal Abdul Naser yang mendominasi perpolitikan Arab di tahun 1950-1960an. Sistem baru Jamahiriya, yang di jalankan Gaddafi disebut sebagai state of the masses meletakkan power oleh beberapa masyarakat. Namun dalam prakteknya Gaddafi mendapatkan perlawanan. Inilah yang menjadi penyebab pecahnya revolusi di Libya. Kelompok anti-Gadaffi melakukan demonstrasi yang berujung pada intensifikasi kekerasan, sehingga pemerintah Libya menggunakan langkah militer untuk melawan kelompok anti-Gadaffi yang merupakan kelompok militan Islam.
Revolusi yang sebenarnya terjadi di Libya merupakan kontinuitas revolusi yang pertama kali terjadi di Tunisia untuk menggulingkan Ben Ali di lanjutkan di Mesir dengan perlawanan melawan rezim Mubarak, hingga revolusi yang ada di Libya, Bahrain dan Yaman. Revolusi ‘domino’ ini menginginkan adanya pergantian rezim dengan sistem pemerintahan yang lebih demokratis. Model pemerintahan yang dijalankan Gadaffi selama kurang lebih 40 tahun merupakan pemerintahan yang ditaktor dan tanpa konstitusi. Praktek nepotisme kental dalam pemerintahan Gadaffi, pimpinan militer Libya dan pasukan khusus istana merupakan keluarga Gadaffi. Dalam mempertahankan status quo, Gadaffi meletakkan orang-orang yang berasal dari keluarganya di sektor militer. Ia paham betul bahwa militer merupakan kelompok yang paling kuat dalam melakukan kudeta, seperti yang dilakukannya ketika pemerintahan Raja Idris. Kekuatan rezim Gadaffi juga diperkuat dengan kekayaan minyak yang ada di Libya. Sehingga, Gadaffi memiliki power yang kuat tidak hanya dalam lingkup domestik namun juga internasional karena banyak negara memasok minyak dari Libya selain dari Timur Tengah. Bentuk kuatnya rezim Gadaffi ini ditunjukkan dengan tidak adanya partai politik, kelompok oposisi, media dan masyarakat sipil yang kuat untuk menentang pemerintahan ini.
Kecenderungan politik di Arab, penguasaan birokrasi pemerintahan dibangun atas pertalian kelompok loyalis yang mendukung segala kebijakan pemimpin. Di Libya, Gadaffi memiliki kabilah Qadhafa, mayoritas berpusat di Tripoli dan Sarte, yang menjadi pelindung kekuatan rezimnya di dunia internasional. Produksi minyak Libya yang mencapai 4,5 juta barrel per hari menjadi salah satu arena geopolitik Libya. Banyak perusahaan asing melakukan eksplorasi minyak di kawasan ini seperti, British Petroleum, Exxon, Total, Occidental Petroleum, Marathon Oil dan Oil and Amerada Hess. Ekspor minyak Libya ke Eropa dan Asia juga merupakan faktor handling yang dilakukan oleh Gadaffi terhadap pemimpin internasional. Selain minyak, Gadaffi juga melakukan nasionalisasi seluruh industri yang ada di Libya untuk mencegah dalamnya intervensi asing dalam pemerintahannya. Militer yang merupakan pertahanan negara berada pada pihak Gadaffi sehingga penggulingan rezim Gadaffi akan lebih sulit, karena Gadaffi banyak mempunyai ‘kartu-kartu penting’ untuk mempertahankan kekuasaannya.
Minyak merupakan faktor penting bagi-bagi negara barat. Stabilitas harga minyak dan distribusi yang terus berjalan ini memaksa negara Eropa dan Amerika turun tangan dalam revolusi yang terjadi. Intervensi asing ini terlihat melalui hadirnya NATO dengan penyerbuan pertama melalui udara dilakukan oleh Perancis dibawah perintah Nicolas Sarkozy. Kondisi yang terjadi di Libya terbelah menjadi dua kubu, yaitu tentara Gadaffi dan tentara pemberontak, kelompok anti-pemerintah dan kelompok pro-Gadaffi, juga keberadaan NATO untuk membantu penggulingan rezim Gadaffi. Melihat revolusi yang terus berlangsung dengan gencatan senjata yang terus dilakukan mendatangkan banyak kecaman dari dunia internasional dan menyebut Gadaffi sebagai penjahat perang. Ia terus melakukan pendudukan ke wilayah kelompok revolusioner. Peran PBB dalam hal ini dikeluarkannya putusan untuk melakukan semua langkah yang diperlukan untuk melindungi warga sipil dan pusat-pusat penduduk yang dapat menjadi serangan rezim Gadaffi . Situasi Libya semakin buruk dengan semakin bertambahnya jumlah warga sipil yang tewas. Hal ini menjadi suatu hal kontra produktif sehingga negara besar harus melaksanakan resolusi PBB tersebut, negara terdekat seperti Turki yang pada awalnya menentang resolusi tersebut akhirnya mendukung pelaksanaan putusan.

Kesimpulan dan Opini :
Gerakan revolusioner yang terjadi di Libya 2011 ini dapat dinamakan sebagai “arab spring” yang mereferensikan bangkitnya negara-negara di Arab dari tahun 1848, sehingga revolusi yang terjadi bukan bentukan dari pihak eksternal tetapi keinginan rakyat. Tindakan ini memberikan efek domino karena berlanjut dari satu negara ke negara lain. Tahun 2010 lalu terjadi revolusi di Tunisia, Mesir, lalu Libya hingga Suriah dan Yaman. Faktor utama terjadinya pemberontakan adalah keinginan adanya pergantian rezim yang berkuasa karena gaya kepemimpinannya yang ditaktor tanpa memperhatikan peran rakyat dalam pemerintaha. Selain itu, era globalisasi yang membawa nilai-nilai kebebasan dalam demokrasi juga mendorong faktor utama revolusi. Yang terjadi di Libya, nepotisme dan korupsi yang dilakukan oleh rezim Gadaffi menyebabkan minimnya kesejahteraan rakyat dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi. Kondisi seperti itu mendorong gerakan dari kaum muda yang lebih banyak menggunakan media sosial seperti internet untuk meruntuhkan Gadaffi. Tetapi media tersebut di tutup oleh rezim berkuasa. Demokrasi yang diinginkan rakyat murni berasal dari internal rakyat itu sendiri. Kehadiran aktor eksternal ini disebabkan oleh kekejaman rezim Gadaffi dengan menggunakan militer untuk mempertahankan kekuasaannya. Isu-isu humanitarian yang dibawa oleh NATO dan tentara AS melegalkan pengamanan terhadap warga sipil di Libya. Dibalik itu, negara barat juga berkepentingan untuk menjaga minyak yang ada di Libya agar tidak berdampak signifikan pada peningkatan harga minyak dunia akibat revolusi. Yang perlu diperhatikan nantinya adalah kondisi pasca revolusi dimana rakyat Libya dihadapkan pada dua hal, dimana intervensi asing dalam pemerintahan baru pasti terlihat untuk melindungi kepentingan negara besar di Libya. Proses ini tentu memakan waktu lama seperti yang terjadi di Irak. Pilihan kedua adalah kelanjutan dari rezim Gadaffi sekarang ini. Peran Liga Arab sebagai negara terdekat dengan beberapa kesamaan politik yang dimiliki diharapkan dapat lebih aktif melakukan intervensi dibanding negara besar.

1 komentar: